JurnalPatroliNews – Kampar – Filsuf dan akademisi Rocky Gerung menyampaikan pandangan menarik mengenai hak-hak lingkungan dalam sebuah diskusi publik bertema perlindungan alam di Kabupaten Kampar, Riau. Dalam forum yang digelar di Pulau Tongah, Tanjung Belit, Kampar Kiri Hulu, Kamis (19/6/2025), Rocky menegaskan bahwa elemen alam seperti pohon seharusnya memiliki kedudukan hukum layaknya manusia.
Acara ini merupakan bagian dari program Bakti Religi dan Peduli Lingkungan yang diselenggarakan oleh Polda Riau, bertepatan dengan peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia dan Hari Bhayangkara ke-79. Hadir dalam diskusi tersebut Gubernur Riau Abdul Wahid, Wakapolda Brigjen Jossy Kusumo, tokoh agama Ustaz Abdul Somad (UAS), serta tokoh daerah, akademisi, dan masyarakat sekitar.
Dalam paparannya, Rocky mengangkat kisah inspiratif tentang Christopher D. Stone, seorang profesor hukum asal Arizona, Amerika Serikat, yang di era 1970-an mengadvokasi hak sebuah pohon untuk tidak ditebang. Aksi itu muncul sebagai respons atas rencana penggundulan hutan untuk dijadikan area wisata.
“Kisah ini bermula ketika sebuah kawasan hutan di Arizona akan dibabat oleh investor. Di tengah perdebatan, Profesor Stone membuat argumen bahwa pohon pun pantas dibela secara hukum,” ujar Rocky.
Stone kemudian menulis esai berjudul Should Trees Have Standing? yang menggugat paradigma hukum konvensional kala itu yang hanya mengakui manusia sebagai subjek hukum. Esai ini menjadi dasar pengembangan teori bahwa alam juga berhak atas perlindungan hukum.
Rocky menjelaskan bahwa pada masa itu, pemikiran bahwa pohon atau batu memiliki hak hukum dianggap radikal. “Dulu, tidak terpikir bahwa pohon bisa ‘mengadu’ ke pengadilan. Tapi Stone memberikan analogi yang menyentuh: seperti anak kecil yang tidak bisa bicara, tapi tetap berhak atas warisan orang tuanya,” ucapnya.
Pandangan tersebut membuka mata dunia tentang pentingnya memberi suara bagi pihak-pihak yang tak mampu bersuara, seperti alam. Dari sinilah muncul konsep legal standing bagi lingkungan, yang kemudian banyak diadopsi dalam gerakan masyarakat adat, LSM, dan lembaga perlindungan lingkungan.
Rocky menekankan bahwa saat ini, pendekatan ekosentris telah menggantikan pandangan antroposentris yang dulu dominan. Dalam filsafat dan hukum lingkungan kontemporer, semua unsur alam—dari pohon, batu, rumput, hingga hewan kecil—diakui memiliki hak untuk dilindungi.
“Kalau dulu hanya manusia yang dianggap subjek hukum, kini rumput pun bisa memiliki legal standing jika ia menjadi bagian dari ekosistem yang penting. Ini menandakan evolusi besar dalam pemikiran hukum dan moralitas kita terhadap alam,” tutup Rocky.
Komentar