IKN Adalah Janji Rakyat: Mengapa Pemimpin Harus Dijaga, Bukan Ditekan!

JurnalPatroliNews – Jakarta – Pernyataan kritis yang disuarakan oleh sejumlah purnawirawan TNI dalam Forum Purnawirawan TNI terhadap Presiden Prabowo Subianto tampaknya memunculkan reaksi keras dari kalangan sesama mantan perwira tinggi.

Dalam iklim demokrasi yang sehat, perbedaan pandangan tetap harus berpijak pada kaidah etis,  sementara ungkapan kritik seharusnya dibangun di atas argumen dan pemahaman konstitusional justru terkesan emosional dan tidak berimbang.

Berkaitan hal ini Tim Redaksi JurnalPatroliNews ingin mendalami permasalahan pernyataan sejumlah purnawirawan TNI dalam Forum Purnawirawan TNI dengan melakukan Wawancara Ekslusif dengan Mayjen TNI (Purn) Dr. Saurip Kadi, SE, MM, MBA., di bilangan Jakarta Selatan, Kamis (1/5/2025).

JPNews: Belakangan ini publik cukup dikejutkan dengan pernyataan terbuka dari sejumlah purnawirawan TNI yang tergabung dalam Forum Purnawirawan TNI. Menurut Bapak, bagaimana Bapak memandang kemunculan sikap itu di ruang publik kita?

Saurip Kadi: Pertama-tama, izinkan saya menyampaikan bahwa saya menghormati sepenuhnya para senior dan rekan seperjuangan di Forum Purnawirawan TNI. Mereka adalah orang-orang yang dalam sebagian besar hidupnya telah mencurahkan tenaga, pikiran, dan bahkan siap mengorbankan nyawa demi menjaga kedaulatan bangsa ini. Maka tidak ada sedikit pun niat saya untuk menafikan ketulusan niat mereka.

Namun demikian, kita juga tidak boleh menutup mata terhadap kenyataan bahwa demokrasi adalah sistem yang tumbuh dengan kesadaran kolektif dan budaya saling menghormati. Dalam hal ini, penyampaian aspirasi atau kekhawatiran tentang jalannya pemerintahan tentu merupakan hal yang wajar. Namun, caranya perlu kita tempatkan dalam koridor kebangsaan yang sejuk dan terukur.

Saya justru melihat bahwa pernyataan terbuka yang disampaikan oleh Forum tersebut, meskipun mungkin dilandasi semangat patriotik, perlu dikaji kembali dari segi norma etik dan praktik demokrasi. Karena dalam negara demokrasi, pemimpin itu lahir dari mandat rakyat. Ketika Presiden dan Wakil Presiden sudah terpilih secara sah melalui Pemilu, maka posisi mereka tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga memiliki legitimasi moral dari rakyat pemilihnya. Oleh karena itu, setiap kritik atau masukan, alangkah baiknya disampaikan dalam semangat dialog yang terhormat, bukan secara terbuka yang berpotensi memecah belah atau menimbulkan ketegangan di ruang publik.

JPNews: Apakah dengan demikian Bapak menilai bahwa penyampaian aspirasi oleh Forum Purnawirawan tersebut kurang tepat?

Saurip Kadi: Saya tidak mengatakan keliru, karena niat di balik pernyataan tersebut, saya yakin, lahir dari keprihatinan terhadap bangsa. Tetapi saya ingin mengajak kita semua untuk merenung: apakah cara itu merupakan bentuk komunikasi terbaik di era sekarang? Dalam konteks demokrasi yang telah berkembang dan bergerak maju, kritik yang membangun tentu sangat dihargai. Namun, jika bentuk dan momennya tidak tepat, justru bisa menimbulkan mispersepsi.

Lebih jauh, perlu kita pahami bahwa keterbukaan informasi saat ini membawa konsekuensi besar. Apa yang kita ucapkan atau tulis, bisa menjadi konsumsi publik secara luas, tanpa bisa dikendalikan maknanya. Maka, bagi para tokoh bangsa, terlebih yang memiliki jejak pengabdian luar biasa seperti para purnawirawan, sebaiknya senantiasa mengedepankan etika kenegaraan, agar pernyataan yang dimaksudkan sebagai nasihat tidak justru dianggap sebagai tekanan politik atau bahkan intervensi terhadap pemerintahan yang sah.

JPNews: Salah satu pokok pernyataan mereka menyebut perlunya kembali ke UUD 1945 yang asli. Bagaimana Bapak menanggapi ide tersebut?

Saurip Kadi: Secara pribadi dan intelektual, saya memahami bahwa usulan untuk kembali ke UUD 1945 versi asli mungkin didasarkan pada pandangan bahwa konstitusi tersebut lebih mencerminkan semangat awal pendiri bangsa. Namun, sejarah dan dinamika ketatanegaraan kita telah mencatat bahwa konstitusi itu bersifat sangat ringkas dan belum cukup memadai dalam menjawab kebutuhan zaman. Ia belum memuat prinsip-prinsip dasar demokrasi modern seperti pengakuan terhadap multipartai dan sistem checks and balances yang kuat.

Jika kita sungguh ingin memperkuat pondasi bernegara, maka yang kita butuhkan adalah penyempurnaan, bukan sekadar pemulihan bentuk lama. UUD hasil amandemen telah membuka ruang lebih luas bagi partisipasi rakyat, kebebasan sipil, dan perlindungan HAM. Meski tidak sempurna, ia telah menjadi pijakan penting dalam menata pemerintahan yang lebih transparan dan akuntabel. Maka saya kira, gagasan penyempurnaan konstitusi ke depan sebaiknya dilakukan melalui mekanisme konstitusional, dengan melibatkan para ahli hukum tata negara, perwakilan rakyat, dan elemen masyarakat sipil, bukan dengan dorongan emosional yang bisa menimbulkan instabilitas.

JPNews: Bagaimana Bapak melihat permintaan pencopotan Wakil Presiden dan penolakan terhadap proyek IKN yang juga muncul dalam pernyataan itu?

Saurip Kadi: Itu adalah bagian yang cukup sensitif. Karena bagaimana pun, Wakil Presiden adalah bagian dari pasangan terpilih yang dipilih langsung oleh rakyat dalam satu paket. Artinya, mengusulkan pencopotan wakil presiden secara terbuka bisa diartikan sebagai ketidakpercayaan terhadap pilihan rakyat, dan itu bertentangan dengan prinsip utama demokrasi. Kalau setiap kali ada perbedaan pendapat lalu mendorong penggantian pejabat yang sah, maka tidak akan pernah ada stabilitas dalam pemerintahan.

Begitu pula dengan proyek IKN. Saya percaya, semua kebijakan strategis perlu dievaluasi secara berkala dan harus terbuka terhadap kritik. Tetapi penolakannya pun harus disampaikan melalui kajian yang objektif dan disalurkan lewat forum yang tepat. Perlu diingat, IKN adalah bagian dari janji kampanye Presiden Prabowo Subianto. Dalam sistem demokrasi, janji kampanye itu adalah janji politik. Dan janji politik itu merupakan bentuk kontrak sosial antara pemimpin dan rakyat.

Presiden Prabowo terpilih melalui mandat rakyat yang mempercayai visi dan program kerjanya, termasuk melanjutkan pembangunan IKN. Maka, justru menjadi tanggung jawab moral seluruh elemen bangsa untuk membantu beliau agar tetap konsisten dan amanah terhadap komitmennya. Menyuruh presiden meninggalkan janjinya sama saja dengan menyarankan beliau mengingkari kepercayaan publik. Padahal yang kita butuhkan hari ini adalah pemimpin yang bisa diandalkan, dan rakyat yang menjaga amanah pemimpinnya.

JPNews: Banyak pihak memuji Presiden Prabowo karena tidak memberikan respons reaktif. Apa pandangan Bapak?

Saurip Kadi: Saya kira itu sikap yang sangat bijaksana dan mencerminkan kedewasaan politik. Dengan memilih untuk tidak merespons secara emosional, Presiden Prabowo menunjukkan bahwa beliau memahami betul tanggung jawab moral sebagai pemimpin bangsa. Saya percaya beliau mencatat semua masukan itu, meskipun tidak disampaikan secara terbuka. Keteguhan seperti itu justru mencerminkan kualitas kenegarawanan yang tinggi.

JPNews: Apa pelajaran yang bisa diambil dari kejadian ini oleh publik maupun kalangan purnawirawan itu sendiri?

Saurip Kadi: Pelajaran paling utama adalah pentingnya keteladanan. Ketika kita sudah tidak lagi berada dalam struktur resmi, bukan berarti kita kehilangan peran. Justru di situlah nilai kita diukur: apakah kita tetap bisa memberi arah, tanpa harus menimbulkan gaduh. Menjadi purnawirawan adalah fase terhormat, tapi juga menantang karena apa yang kita ucapkan tetap memiliki bobot di mata publik.

Saya mengajak kita semua untuk memperkuat budaya saling menghormati. Bahwa di atas semua perbedaan, ada semangat yang sama: mencintai Indonesia. Dan cinta itu tidak harus selalu lantang. Ia bisa hadir dalam sikap sabar, teladan yang konsisten, dan ketulusan untuk mendukung yang baik tanpa harus menjatuhkan yang berbeda pandang.

JPNews: Terakhir sebagai penutup, apa pesan Bapak untuk bangsa ini ke depan?

Saurip Kadi: Mari kita jadikan setiap peristiwa sebagai bahan refleksi bersama. Kita ingin Indonesia menjadi negara besar bukan hanya karena kekayaan alam atau jumlah penduduknya, tetapi juga karena kedewasaan berdemokrasinya. Demokrasi adalah perjalanan panjang, dan kita semua adalah penumpangnya. Maka jangan sampai kita menjadi pihak yang mengguncang kapal hanya karena tidak setuju dengan arah haluan. Mari tetap saling mengingatkan, tapi dengan cara yang terhormat. Karena bangsa ini adalah milik bersama. (Tim Redaksi)

Komentar