JurnalPatroliNews — Hubungan antara bangsa Portugis dan Kerajaan Ternate yang semula terjalin harmonis, berakhir dengan tragis dalam serangkaian konflik berdarah di abad ke-16. Kedatangan Portugis ke Kepulauan Maluku pada 1512 awalnya membawa harapan baru bagi perkembangan perdagangan rempah-rempah dunia. Namun, ambisi imperialistik dan praktik monopoli membuat hubungan tersebut berubah menjadi permusuhan yang berujung pada pengusiran Portugis dari tanah Ternate.
Awal Hubungan: Perdagangan dan Aliansi
Setelah ekspedisi António de Abreu dan Francisco Serrão, Portugis berhasil menembus jalur laut menuju Maluku, pusat rempah-rempah dunia kala itu. Melalui pendekatan diplomatik, mereka membangun hubungan baik dengan Kerajaan Ternate yang kala itu merupakan kekuatan besar di kawasan. Pada 1522, Portugis diberi izin untuk membangun Benteng São João Baptista, sebuah struktur megah yang dimaksudkan sebagai pusat pertahanan sekaligus pengendali perdagangan cengkih, komoditas yang sangat dicari di Eropa.
Dalam masa awal kerja sama ini, Ternate mendapatkan keuntungan ekonomi dari akses pasar internasional, sementara Portugis memperoleh pasokan rempah-rempah yang melimpah.
Keretakan Hubungan: Arogansi dan Monopoli
Seiring waktu, niat Portugis tak lagi sebatas berdagang. Mereka mulai menunjukkan keserakahan dengan menguasai jalur distribusi dan menetapkan harga rempah-rempah secara sepihak. Lebih buruk lagi, mereka ikut campur dalam urusan politik kerajaan, memanfaatkan konflik internal untuk memperkuat posisi mereka.
Sikap arogan terhadap bangsawan lokal, perlakuan kasar terhadap rakyat, serta penghinaan terhadap adat istiadat Ternate memperburuk hubungan. Portugis memaksakan kehendak mereka dengan kekuatan militer, mengabaikan diplomasi dan norma setempat.
Kebijakan monopoli yang diterapkan Portugis menyebabkan ketidakpuasan mendalam. Penguasa Ternate merasa kehilangan kendali atas sumber daya ekonomi utama mereka, membuat ketegangan kian membara.
Puncak Konflik: Pembunuhan Sultan Hairun
Konflik mencapai klimaksnya pada tahun 1570, saat Portugis secara licik membunuh Sultan Hairun adalah sosok pemimpin yang awalnya mengupayakan kompromi dan perdamaian. Sultan Hairun dibunuh di dalam Benteng São João Baptista dengan dalih pertemuan damai.
Pembunuhan ini mengejutkan dan menyulut kemarahan seluruh rakyat Ternate. Pengkhianatan ini bukan hanya dianggap sebagai tindakan permusuhan terhadap Ternate, tetapi juga sebagai penghinaan besar terhadap kehormatan kerajaan.
Perlawanan dan Pengusiran Portugis
Dipimpin oleh putra Sultan Hairun, Sultan Baabullah, rakyat Ternate mengobarkan perlawanan besar-besaran. Perang berlangsung sengit, dengan strategi pengepungan ketat terhadap benteng Portugis.
Setelah bertahun-tahun bertempur, pada tahun 1575, Portugis akhirnya dipaksa menyerah. Mereka diusir sepenuhnya dari Ternate, mengakhiri lebih dari enam dekade kehadiran Portugis di wilayah tersebut.
Di bawah kepemimpinan Sultan Baabullah, Ternate memasuki masa kejayaan, bahkan memperluas pengaruhnya ke wilayah Maluku lainnya. Sultan Baabullah kemudian dikenal sebagai “Raja Tujuh Puluh Pulau”, merujuk pada dominasi Ternate atas banyak wilayah kepulauan.
Warisan Sejarah: Simbol Perlawanan Nusantara
Keretakan dan perlawanan terhadap Portugis di Ternate menjadi salah satu tonggak awal dalam sejarah perjuangan bangsa Nusantara melawan kolonialisme Eropa. Peristiwa ini menunjukkan bahwa masyarakat kepulauan, dengan kepemimpinan yang kuat dan semangat persatuan, mampu menghadapi kekuatan kolonial yang jauh lebih maju dalam persenjataan.
Warisan heroik Sultan Baabullah dan rakyat Ternate tetap menjadi sumber inspirasi hingga kini, menegaskan pentingnya kedaulatan, harga diri, dan keberanian dalam mempertahankan tanah air dari penjajahan asing.
Komentar