Kejahatan Agraria di Nusa Penida: Warga Buta Huruf Jadi Korban Dugaan Mafia Tanah

JurnalPatroliNews – Denpasar – Sengketa tanah di kawasan wisata kelas dunia, Kelingking Beach, Nusa Penida, kembali mengungkap wajah gelap praktik dugaan mafia tanah di Bali. Seorang pria tua berusia 82 tahun, I Wayan Sangging, kini berjuang di pengadilan untuk mendapatkan kembali hak atas tanah warisan keluarganya seluas 66.550 meter persegi atau 6,65 hektare, yang diduga diambil secara licik melalui pemalsuan dokumen dan rekayasa administrasi.

Tanah yang terletak di Dusun Karang Dawa, Desa Bunga Mekar, Kabupaten Klungkung ini diduga telah berpindah tangan tanpa izin pemilik sahnya. Ironisnya, sertifikat tanah tersebut ternyata telah diterbitkan atas nama orang lain sejak tahun 1995. Sebuah skema yang semakin menguatkan dugaan adanya praktik jual beli ilegal dengan memanfaatkan ketidaktahuan pemilik asli.

Wayan Sangging, yang tidak bisa membaca dan menulis, mengungkap bahwa dirinya hanya membubuhkan cap jempol pada selembar kertas yang diberikan oleh Dewa Ketut Sudana, mantan Kepala Sedahan Nusa Penida.

Ia mengira kertas tersebut hanyalah catatan pinjaman, karena pada tahun 1992 ia memang meminjam uang untuk kembali ke Lampung. Namun, tanpa sepengetahuannya, cap jempol tersebut diduga digunakan sebagai alat untuk memalsukan dokumen jual beli tanahnya!

Lebih mencengangkan lagi, tanah yang diwariskan kepadanya ternyata telah bersertifikat sejak 12 Desember 1995, dengan nama yang sengaja dimanipulasi menjadi ‘I Sangging, bukan nama lengkapnya, I Wayan Sangging. Ini adalah indikasi kuat bahwa ada tangan-tangan kotor yang bermain dalam penerbitan sertifikat ini.

Tak hanya dugaan manipulasi cap jempol, akta jual beli (AJB) yang menjadi dasar peralihan tanah juga penuh kejanggalan. Akta Jual Beli Nomor 75/NP/1995 justru terbit sebelum sertifikat tanah dikeluarkan. Sebuah fakta yang jelas-jelas tidak masuk akal dan melanggar aturan hukum.

Selain itu, sertifikat tanah yang kemudian beralih kepemilikan ke tangan investor, Sugianto, melalui Akta Jual Beli Nomor 177/2021, semakin menguatkan dugaan bahwa proses ini penuh dengan rekayasa dan cacat hukum.

Kasus ini menunjukkan betapa rentannya masyarakat lokal terhadap praktik mafia tanah, terutama di daerah wisata yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Nusa Penida, yang kini menjadi salah satu destinasi unggulan Bali, menjadi incaran spekulan yang diduga bekerja sama dengan oknum pejabat untuk menguasai lahan-lahan strategis.

Dalam persidangan, terungkap fakta bahwa sebagian tanah yang sebelumnya diklaim ‘tidak diketahui keberadaannya’, ternyata dikuasai oleh para tergugat. Bahkan, sertifikat hak milik nomor 36, yang diajukan sebagai bukti tambahan, menunjukkan bahwa tanah itu telah dialihkan kepada pihak lain secara diam-diam.

Kuasa hukum Wayan Sangging juga menyoroti keberadaan saksi yang dihadirkan oleh pihak tergugat. Saksi tersebut adalah anak buah tergugat sendiri, sehingga objektivitas kesaksiannya sangat diragukan.

Komentar