Dalam gugatannya, Wayan Sangging menuntut agar seluruh akta jual beli dan sertifikat tanah yang terbit secara ilegal dinyatakan batal dan tidak sah. Ia juga menuntut pengembalian tanah kepada dirinya sebagai ahli waris sah, serta ganti rugi senilai Rp 3,48 miliar atas kehilangan hak pemanfaatan tanah selama 30 tahun.
Lebih lanjut, kuasa hukumnya menegaskan akan membawa kasus ini ke ranah pidana, khususnya terkait pemalsuan dokumen. Mereka juga akan berkoordinasi dengan Polda Bali dan laboratorium forensik untuk membuktikan adanya pembuatan dan penggunaan bukti palsu dalam kasus ini.
Kasus ini bukan sekadar sengketa tanah biasa, ini adalah cerminan dari betapa lemahnya perlindungan hukum terhadap warga lokal di daerah wisata yang semakin dilirik investor besar. Jika kasus ini dibiarkan tanpa keadilan, maka akan semakin banyak warga Nusa Penida yang kehilangan tanahnya dengan cara-cara licik seperti ini.
Masyarakat Bali harus bersatu dalam melawan praktik mafia tanah yang semakin merajalela. Jangan sampai Nusa Penida, tanah leluhur kita, jatuh ke tangan mereka yang memperkaya diri sendiri dengan cara-cara curang!
Pengadilan kini menjadi harapan terakhir bagi Wayan Sangging untuk mendapatkan kembali tanahnya. Apakah keadilan akan berpihak padanya? Ataukah mafia tanah akan kembali tertawa di atas penderitaan rakyat kecil? (Sarjana)
Komentar