JurnalPatroliNews – Jakarta – Persoalan kepemilikan empat pulau yang menjadi titik sengketa antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara kembali mencuat ke publik. Dirjen Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri, Safrizal Zakaria Ali, menjelaskan asal-muasal polemik ini yang telah berlangsung sejak 2008.
Menurut Safrizal, sengketa ini berawal ketika Tim Nasional Pembakuan Rupa Bumi melakukan proses verifikasi pulau-pulau di Indonesia. Saat itu, tim yang terdiri dari berbagai kementerian dan lembaga negara melakukan pendataan di Aceh dan menyebutkan 260 pulau masuk wilayah Aceh. Namun, empat pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Panjang tidak termasuk dalam daftar tersebut.
Verifikasi tersebut dikukuhkan pada 4 November 2009, dengan konfirmasi langsung dari Gubernur Aceh kala itu. Dalam suratnya, terjadi pula perubahan nama dan titik koordinat sejumlah pulau. Contohnya, Pulau Rangit Besar berubah nama menjadi Mangkir Besar dan koordinatnya bergeser.
Di waktu yang hampir bersamaan, Pemprov Sumatera Utara melaporkan terdapat 213 pulau di wilayahnya, termasuk keempat pulau yang kini disengketakan. Verifikasi itu juga mendapat konfirmasi dari Gubernur Sumut pada tahun 2009.
Safrizal menekankan bahwa seluruh proses pendataan ini dilakukan oleh tim lintas instansi seperti Kemendagri, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Informasi Geospasial (BIG), TNI AL dan AD, serta pemerintah daerah terkait.
Hasil akhir dari proses ini kemudian dilaporkan ke PBB pada tahun 2012, yang menetapkan keempat pulau masuk dalam administrasi Provinsi Sumatera Utara. Keputusan ini kemudian diperkuat melalui Keputusan Mendagri tahun 2022 dan ditegaskan kembali pada April 2025.
Mendagri Tito Karnavian mengakui bahwa permasalahan batas wilayah seperti ini bukan hanya terjadi antara Aceh dan Sumut. Ia menyebut masih terdapat ratusan kasus serupa di Indonesia. Dari sekitar 70 ribu desa, baru seribuan yang memiliki batas wilayah definitif secara hukum.
“Ketidakjelasan batas wilayah bisa berujung pada permasalahan hukum. Misalnya, pembangunan yang dilakukan di area sengketa bisa jadi temuan audit BPK,” ujar Tito.
Dalam kasus Aceh dan Sumut, Tito mengatakan bahwa penelitian atas batas darat antara Aceh Singkil dan Tapanuli Tengah sudah tuntas oleh BIG, TNI AL, dan Direktorat Topografi TNI AD. Namun, batas lautnya masih belum disepakati. Oleh sebab itu, keputusan berada di tangan pemerintah pusat.
Meski begitu, keputusan tersebut mendapat tentangan dari beberapa pihak. Salah satunya dari Nazaruddin Dek Gam, anggota DPR RI asal Dapil Aceh I, yang mendesak agar keempat pulau itu dikembalikan ke Aceh. Ia menyayangkan keputusan Kemendagri yang menetapkan wilayah itu menjadi bagian dari Tapanuli Tengah, Sumut.
“Saya meminta Mendagri segera mengembalikan pulau-pulau itu ke Aceh,” tegas Dek Gam, Rabu (11/6).
Komentar