Sri Mulyani Keluhkan Warga RI Terlalu Khawatir Soal Utang Pemerintah

JurnalPatroliNews – Jakarta – Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengajak masyarakat Indonesia untuk tidak terlalu khawatir terhadap masalah utang negara, karena menurutnya, pemerintah telah mengelola utang dengan sangat cermat. Sri Mulyani menyoroti bahwa pandangan masyarakat terkait utang sering kali dipengaruhi oleh perspektif politik.

“Masyarakat Indonesia terbiasa terus-menerus melihat utang itu lebih pada nominal. Ya, memang ada distorsi dari sisi political perspektif versus dari sisi teknokrasi pengelolaan utang Indonesia,” papar Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, dikutip Kamis (29/8/2024).

Saat ini, total utang pemerintah tercatat sebesar Rp 8.502 triliun atau sekitar 38,68% dari Produk Domestik Bruto (PDB), dengan mayoritas berasal dari Surat Berharga Negara (SBN) dan pinjaman luar negeri. Sri Mulyani menjelaskan bahwa SBN merupakan instrumen investasi dan moneter yang dioperasikan oleh Bank Indonesia (BI).

Instrumen ini bertujuan untuk menjaga likuiditas keuangan, di mana BI dan pemerintah dapat memanfaatkannya sesuai dengan kesepakatan yang ada. Di negara-negara dengan pasar obligasi yang sudah mapan dan likuid, pemerintah dapat menerbitkan SBN dalam jumlah besar sebagai instrumen moneter.

“Terkadang, ketika mendengar ‘jumlah utang pemerintah termasuk SBN’, beberapa orang mungkin merasa cemas. Padahal, SBN itu sendiri adalah instrumen likuiditas treasury yang berputar setiap tahun,” ungkap Sri Mulyani.

Mengenai rasio utang, Sri Mulyani menyebutkan bahwa rasio utang Indonesia masih berada dalam kondisi yang baik. Ia juga membandingkan dengan negara-negara lain yang memiliki pasar utang yang dalam dan likuid, di mana pembicaraan mengenai nilai utang tidak lagi menjadi fokus utama, kecuali jika negara tersebut mengalami defisit kronis yang menyebabkan rasio utang terhadap PDB mencapai lebih dari 60% bahkan hingga 100%.

Untuk Indonesia, lanjut Sri Mulyani, fokus pemerintah saat ini adalah memperdalam dan melikuidasi pasar obligasi, sehingga biaya penerbitan dan beban utang dapat ditekan.

“Masalahnya bukan pada besarnya angka utang,” tegasnya.

Komentar