Tapera Dinilai Tambah Beban Karyawan, LPEM FEB UI Desak Pemerintah Tinjau Ulang

JurnalPatroliNews – Jakarta – Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) menilai bahwa program tabungan perumahan rakyat atau Tapera bukanlah solusi efektif untuk mengatasi masalah kekurangan rumah di Indonesia.

Menurut tim peneliti yang terdiri dari Yusuf Sofiyandi Simbolon, Yusuf Reza Kurniawan, Nauli A. Desdiani, dan Firli W. Wahyuputri, tanggung jawab menyediakan perumahan yang layak bagi masyarakat menengah ke bawah seharusnya berada di tangan pemerintah, bukan dibebankan pada pekerja secara umum, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.

Mereka menyoroti bahwa pada tahun 2023, krisis kebutuhan kepemilikan rumah di Indonesia mencapai 12,7 juta unit, meningkat dari 11,6 juta unit pada tahun 2022. Peningkatan ini disebabkan oleh berbagai masalah kompleks dalam penyediaan perumahan, seperti harga rumah yang terus naik, inflasi bahan bangunan, lokasi rumah yang tidak sesuai dengan keinginan masyarakat, serta menurunnya daya beli.

“Dalam menghadapi kompleksitas ini, pemerintah perlu menerapkan serangkaian kebijakan sektor perumahan yang lebih terintegrasi. Program Tapera tidak dapat dianggap sebagai solusi utama untuk menyediakan rumah layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah,” demikian tertulis dalam laporan khusus berjudul ‘Ribut Soal Tapera: Kebijakan Harga Mati untuk Turunkan Angka Kekurangan Perumahan Nasional?’ yang dikutip pada Jumat (7/6/2024).

Mereka juga menyarankan agar pemerintah meninjau ulang program Tapera dan mempertimbangkan berbagai kebijakan lain yang lebih efektif dalam mengatasi masalah perumahan.

LPEM FEB UI mengusulkan agar pemerintah lebih fokus pada peran perumahan sosial dalam menyediakan rumah yang terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Perumahan sosial adalah jenis perumahan yang dirancang untuk kelompok masyarakat yang tidak mampu mengakses pasar perumahan swasta dan seharusnya dialokasikan berdasarkan kebutuhan, bukan kemampuan bayar.

Pemerintah dapat menyediakan perumahan sosial melalui pengembangan perumahan publik atau rusun, serta melibatkan lembaga non-profit dalam pengembangan perumahan komunitas. Selain itu, program subsidi rumah bagi masyarakat menengah ke bawah harus dilanjutkan dengan memberikan DP rendah, cicilan terjangkau, atau bahkan bebas pajak.

Pemerintah juga perlu memastikan rumah subsidi dibangun dekat dengan pusat ekonomi dan memiliki akses konektivitas yang baik, seperti transportasi umum dan jalan tol, jika dibangun di luar pusat ekonomi. “Pemerintah juga sebaiknya memberikan insentif dalam bentuk subsidi iuran bagi masyarakat yang bersedia tinggal di rusun,” tulis tim peneliti.

Kebijakan ini dianggap penting mengingat pertumbuhan harga properti residensial yang melambat signifikan selama pandemi Covid-19. Meskipun pertumbuhan melambat, harga rumah masih tetap tinggi, terutama di kota-kota besar seperti Medan, Surabaya, Batam, Makassar, Jakarta, Denpasar, Tangerang, dan Bogor, dengan rasio harga rumah terhadap pendapatan tahunan yang masih relatif tinggi. Terendah berada di Malang dengan rasio 11,91 kali pendapatan tahunan.

Komentar