JurnalPatroliNews – Jakarta – Harga tiket pesawat yang masih tinggi kembali menjadi sorotan publik. Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi V DPR RI, Ridwan Bae, dalam rapat kerja dengan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) pada Kamis, 22 Mei 2025, yang membahas kemungkinan revisi tarif batas atas penerbangan domestik kelas ekonomi.
Direktur Jenderal Perhubungan Udara, Lukman F. Laisa, mengungkapkan bahwa pemerintah tengah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap formula tarif tiket pesawat. Hal ini mencakup berbagai aspek, termasuk biaya perawatan (maintenance), cadangan suku cadang, serta tantangan pemulihan pasca-pandemi yang dihadapi oleh maskapai penerbangan.
“Peningkatan biaya operasional, seperti maintenance reserve dan kendala pasokan spare part global, membuat kebutuhan dana maskapai melonjak, terutama untuk reaktivasi armada yang sebelumnya tak beroperasi,” ujar Lukman, Jumat (23/5/2025).
Selain itu, tekanan juga datang dari pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, serta lonjakan harga kontrak dan perawatan mesin pesawat. Di sisi lain, perubahan akuntansi berdasarkan PSAK 73 tahun 2020 menyebabkan biaya sewa pesawat kini dicatat sebagai depresiasi, bukan lagi pengeluaran langsung.
Selama ini, tarif tiket pesawat masih merujuk pada Permenhub No. 20 Tahun 2019 dan Kepmenhub No. 106 Tahun 2019. Namun, Lukman menilai formula tarif tersebut perlu disesuaikan, terutama dalam memperhitungkan jarak tempuh, waktu perjalanan, dan pengelompokan layanan (full service, medium, no frills).
Ia juga menegaskan pentingnya pembaruan tarif untuk rute-rute jarak pendek serta diferensiasi tarif bagi jenis pesawat jet. Sementara itu, pesawat bermesin baling-baling (propeller), yang umum digunakan untuk wilayah terpencil, akan dikenakan kebijakan tarif yang lebih mendorong peningkatan konektivitas.
“Penyesuaian tarif bawah dan atas juga akan menghindari praktik predatory pricing dan ketimpangan harga yang ekstrem antara musim sepi dan puncak,” jelas Lukman.
Dalam forum yang sama, Direktur Utama Garuda Indonesia, Wamildan Tsani Panjaitan, menguraikan sejumlah tantangan yang membuat struktur biaya maskapai meningkat sejak 2019. Ia menyebut tiga faktor utama, yakni melonjaknya harga avtur dan biaya perawatan, depresiasi nilai tukar rupiah, serta turunnya tingkat keterisian kursi penumpang secara global.
Wamildan menyebut rute Cengkareng–Denpasar sebagai contoh, di mana biaya per penerbangan naik dari Rp194 juta pada 2019 menjadi Rp269 juta pada 2025. Kenaikan sebesar 38% ini didorong oleh berbagai faktor, seperti biaya MRO (Maintenance, Repair, Overhaul) yang naik Rp31 juta, tarif bahan bakar yang lebih tinggi, serta lonjakan upah minimum nasional sebesar 35% sejak 2019.
“Tak hanya itu, biaya pemasaran dan beban bunga juga ikut menekan margin kami. Di tengah ekonomi global yang belum stabil, profitabilitas maskapai menjadi sangat terbatas,” ujar Wamildan.
Evaluasi kebijakan tarif pesawat ini diharapkan mampu menghasilkan solusi yang adil, menjaga keberlanjutan bisnis maskapai, serta tetap melindungi daya beli masyarakat sebagai pengguna layanan penerbangan.
Komentar