JurnalPatroliNews – Jakarta – Ibadah haji bukan hanya perjalanan spiritual, tapi juga menuntut kesiapan informasi dan kewaspadaan. Sejarah mencatat, pada awal abad ke-20, banyak jemaah haji asal Indonesia yang terjebak dalam praktik penipuan di Makkah karena kurangnya pemahaman bahasa serta sistem yang berlaku di sana.
Menurut catatan sejarawan orientalis Snouck Hurgronje dalam bukunya Mekka in the Latter Part of the 19th Century (1931), penduduk lokal kerap memanfaatkan ketidaktahuan jemaah dari Nusantara demi keuntungan pribadi. Salah satu modus yang cukup umum adalah mengenakan biaya untuk air Zamzam, padahal air tersebut sebenarnya disediakan gratis bagi seluruh jemaah.
Tak hanya itu, ada juga kasus warga lokal yang berpura-pura menjadi “syekh haji”—tokoh spiritual yang dipercaya mengurus dana ibadah para jemaah. Setelah uang diserahkan, sosok tersebut menghilang tanpa kabar.
Lebih ekstrem lagi, pada era 1920-an, muncul penipuan berkedok wakaf di mana jemaah Indonesia dipaksa membeli tiang-tiang Masjidil Haram seharga ratusan riyal dengan dalih sebagai bagian dari ibadah. Tentu saja, tidak ada aturan resmi maupun sejarah yang menyatakan bahwa struktur masjid suci tersebut bisa diperjualbelikan.
Hal serupa diceritakan R.A. Wiranatakusumah, Bupati Bandung yang pernah menunaikan haji dan mendokumentasikan pengalamannya dalam Seorang Bupati Naik Haji (1924). Ia menyebut para penipu beraksi dengan sangat bebas dan jemaah mudah dimanipulasi.
Saking seringnya tertipu, para jemaah dari Nusantara mendapat julukan menghina dari warga lokal seperti farukha (yang berarti “anak ayam”) dan baqar (sapi atau ternak). Menurut Snouck, jemaah diperlakukan layaknya hewan ternak yang diserahkan begitu saja kepada para “syekh berlisensi”, tanpa adanya pilihan atau kebebasan.
Sejarawan Henry Chambert-Loir juga menyinggung hal ini dalam bukunya Naik Haji di Masa Silam (2013). Ia mencatat bahwa jemaah Asia Tenggara terutama dari Indonesia sering dianggap sasaran empuk karena sikap pasrah dan membawa uang dalam jumlah banyak.
Pengalaman ini menjadi pengingat penting bahwa ibadah haji, selain menuntut keikhlasan spiritual, juga memerlukan kecermatan dan perlindungan terhadap potensi penyalahgunaan.
Komentar