Petisi Online Tolak Kenaikan Tarif Air PAM Jaya Hampir Capai 10.000 Tanda Tangan

JurnalPatroliNews – Jakarta – Kebijakan kenaikan tarif air bersih yang diberlakukan oleh PAM Jaya menuai gelombang penolakan dari berbagai pihak, terutama warga rumah susun (rusun) di DKI Jakarta. Kenaikan tarif sebesar 71% dinilai tidak adil dan sangat memberatkan, mengingat mayoritas penghuni rusun berasal dari kalangan berpenghasilan rendah.

Warga Rusun Luncurkan Petisi Penolakan

Sebagai bentuk perlawanan, warga rusun menginisiasi petisi daring bertajuk “WARGA RUMAH SUSUN TOLAK KENAIKAN AIR BERSIH PAM JAYA” di Change.org pada 22 Januari 2025. Hingga kini, petisi tersebut telah mengumpulkan lebih dari 9.435 tanda tangan dari target 10.000 tanda tangan.

Dalam petisi tersebut, warga menyoroti beban ekonomi yang semakin berat akibat kenaikan tarif air bersih. Mereka sudah menghadapi berbagai pengeluaran tinggi, seperti Iuran Pengelolaan Lingkungan (IPL) dan kebutuhan pokok lainnya. Selain itu, warga juga memprotes penggolongan tarif yang dinilai tidak adil. Rumah susun dikenakan tarif yang sama dengan gedung komersial, padahal statusnya sebagai hunian sosial dengan biaya operasional yang ditanggung bersama para penghuni. Oleh karena itu, warga mendesak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan PAM Jaya untuk membatalkan kebijakan ini dan mengembalikan kategori tarif air rumah susun ke kelompok yang lebih adil.

PSI Juga Menolak Kenaikan Tarif Air

Tidak hanya warga, Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Jakarta juga turut menyuarakan penolakan terhadap kebijakan ini. PSI menyoroti kenaikan tarif air bagi penghuni apartemen dan kondominium yang mencapai 71,3%, dari Rp12.550/m³ menjadi Rp21.500/m³.

Menurut PSI, penetapan tarif tersebut melanggar batas atas yang seharusnya tidak melebihi Rp20.269 sebagaimana diatur dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 37 Tahun 2024 tentang Tata Cara Perhitungan dan Penetapan Tarif Air Minum PAM Jaya. Selain itu, PSI juga mengkritik klasifikasi tarif bagi penghuni apartemen dan kondominium yang disamakan dengan industri dan niaga (K III). Tarif tersebut setara dengan hotel, mal, dan pabrik, padahal apartemen merupakan hunian, bukan tempat usaha komersial.

Pemerintah Akan Meninjau Ulang Kebijakan

Menanggapi protes masyarakat, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana mengevaluasi ulang kenaikan tarif air yang mulai berlaku sejak Januari 2025 dan akan muncul dalam tagihan akhir Februari 2025. Pemerintah menyatakan akan mengkaji kebijakan ini agar tidak semakin membebani masyarakat, terutama penghuni rusun dan apartemen.

Gemoi Center: Kebijakan Kenaikan Tarif Harus Dibatalkan

Dr. Ir. Justiani, M.Sc., perwakilan dari Gemoi Center, sebuah lembaga advokasi kebijakan publik, turut mengkritisi kebijakan ini.

“Kenaikan tarif air sebesar 71% ini sangat tidak masuk akal dan memberatkan warga rumah susun. Sebagian besar penghuni rusun adalah masyarakat berpenghasilan rendah yang sudah cukup terbebani oleh biaya hidup lainnya, seperti IPL dan kebutuhan pokok. Jika kebijakan ini diterapkan, dampaknya akan semakin memperburuk kondisi ekonomi mereka,” ujar Justiani kepada JurnalPatroliNews, Jumat (14/3/2025).

Justiani juga menyoroti ketidakadilan dalam penggolongan tarif air. Menurutnya, sangat tidak wajar jika warga rumah susun harus membayar tarif yang sama dengan gedung komersial.

“Rumah susun itu hunian sosial, bukan tempat usaha. Seharusnya, tarif air yang diberlakukan bagi mereka masuk dalam kategori rumah tangga, bukan komersial,” imbuhnya.

Gemoi Center mendesak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan PAM Jaya untuk segera membatalkan kenaikan tarif ini dan mengembalikan kategori tarif rumah susun ke golongan yang lebih adil.

“Saat ini, warga sudah menyampaikan petisi sebagai bentuk protes resmi. Jika tidak ada respons, kami akan terus melakukan advokasi, bahkan bisa saja mengajukan gugatan atau melakukan aksi protes lebih lanjut agar suara warga didengar,” tegasnya.

Kenaikan Tarif Air, Manuver Politik?

Hingga kini, pemilik dan penghuni rumah susun masih merasa dirugikan oleh sistem pengelolaan rusun yang dikendalikan oleh pengembang melalui badan pengelola atau P3SRS boneka. Akibatnya, Iuran Pengelolaan Lingkungan (IPL) menjadi mahal karena minimnya transparansi. Kini, beban warga semakin berat dengan adanya kenaikan tarif air bersih yang signifikan.

“Biasanya, skenario seperti ini hanyalah strategi politik untuk ‘test the water‘. Tarif sengaja dinaikkan setinggi mungkin agar masyarakat bereaksi dan melakukan protes. Kemudian, politisi akan tampil sebagai pahlawan dengan memberikan solusi atau diskon tarif yang cukup signifikan. Pada akhirnya, kenaikan tetap terjadi, hanya saja dalam angka yang sudah diperhitungkan sejak awal. Ini adalah taktik lama yang sudah bisa ditebak,” pungkasnya.

Dengan adanya petisi dan berbagai bentuk penolakan ini, masyarakat berharap pemerintah lebih berpihak pada kepentingan warga kecil. Kebijakan yang tidak memperhatikan keadilan sosial hanya akan semakin memperburuk kondisi ekonomi masyarakat di tengah situasi yang sulit.