Bisakah Orang yang Sudah Mati Jadi Tersangka?

Sebenarnya saya sudah agak enggan membahas masalah-masalah yang terjadi di sekitar kita akhir-akhir ini. Tetapi kejadian ini mendorong saya untuk membahasnya karena sudah amat sangat aneh bin ajaib. 

DetikCom memberitakan hari Rabu, tanggal 3 Maret 2021 memuat bahwa Bareskrim telah menetapkan ke-6 Laskar FPI yang tewas di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek sebagai tersangka.

Penetapan ini benar-benar sangat aneh bahkan absurd di bidang penegakan hukum. Karena menurut doktrin hukum yang diakui oleh seluruh bangsa yang beradab di dunia ini sebuah kasus hukum (pidana) akan gugur atau terhenti jika tersangkanya atau tertuduhnya mati. Kasus hukum tersebut ditutup.

Tetapi kini di Indonesia justru sebaliknya, muncul sebuah kasus hukum di mana yang jadi tersangkanya justru orang-orang yang sudah mati.

Pertanyaannya bagaimana caranya polisi sebagai penyidik memeriksa para tersangka yang sudah mati itu? Pastinya para tersangka itu tidak akan hadir setelah dipanggil beberapa kali.

Apakah penyidik tersebut harus menyusul para tersangka ke dalam kubur untuk memeriksanya? Kalaupun sudah menyusul ke kubur apakah yang ditanyai adalah mayatnya atau tulang belulang para tersangka tersebut?

Kemudian, umpamanya saja perkara ini diterima oleh Jaksa (P-21), maka polisi harus menyerahkan berkas penyidikan perkaranya sekaligus menyerahkan para tersangkanya. Apa yang akan diserahkan oleh polisi? Apakah polisi akan menyerahkan arwah atau tulang belulang para tersangka?

Lebih lanjut lagi, jika perkara ini disidangkan ke pengadilan, maka siapa tertuduh yang diperiksa oleh pengadilan? Arwah para tertuduh itu?

Namun jika karena ketakutan pihak-pihak penegak hukum atas “tekanan” kekuasaan, dan perkara ini berjalan terus sampai ke pengadilan, maka perkara ini akan menjadi pelecehan dahsyat terhadap penegakan hukum dan akan menjadi lelucon terbesar abad ini. Dan itu terjadinya di Indonesia.

Apakah kalangan profesi hukum di Indonesia (pengajar/advokat) akan diam saja tidak berkomentar?

Berawal dari keanehan pertama, yaitu setelah 3 bulan terjadi kematian akibat pembunuhan (Komnas HAM menyimpulkan sebagai “Anlawful killing”), tidak ada tersangka yang resmi diperiksa sebagai pelaku pembunuhan, kini tiba-tiba muncul keanehan yang lebih dahayat lagi, yaitu korban yang sudah mati menjadi tersangka pelaku pembunuhan terhadap diri mereka sendiri.

Mohon maaf jika sebagai penutup saya bertanya apakah di Bareskrim Polri tidak ada anggota yang paham tentang Criminal Justice System? Kalau memang tidak ada maka keberadaan dan kewenangan Bareskrim Polri sebagai instansi penyidik kriminal perlu dievaluasi kembali.

 

Rabu, 4 Maret 2021
Muchyar Yara
Advokat/Mantan Dosen FHUI

Komentar