Apalagi mereka serta merta meminta sang penghuni rumah untuk pergi dan mengosongkan tanah dan rumah kediamannya.
“Saya kaget. Bagaimana mungkin, tanah ini telah kami tempati selama puluhan tahun, sejak 1952 telah dihuni orang tua saya, almarhum Hendrik Oskar Korengkeng,” kata Henry kepada awak media di Jakarta.
Henry mengungkapkan banyak keganjilan atas terbitnya sertifikat tersebut. Antara lain, data fisik dan data yuridis yang tertulis dalam SHM No 483 tidak benar atau bersesuaian dengan fakta sesungguhnya di lapangan.
Keganjilan lain, katanya, ia tidak pernah didatangi petugas dari BPN untuk melakukan pengukuran tanah.
Kemudian, Henry melakukan perlawanan hukum dengan menggugat perdata ahli waris Masirah di Pengadilan Negeri Bekasi.
Belum lagi putus gugatan dari pengadilan, ia merasa dikriminalisasi oleh orang yang mengaku sebagai pemilik tanahnya.
Hendry dilaporkan ke Polres Jakarta Pusat, pada 5 Maret 2018, dengan tuduhan telah melakukan penyerobotan tanah melanggar pasal 167 ayat 1 KUHP).
Penanganan kasusnya berlangsung agak lama, sekitar enam tahun. Barulah pada 24 Juli, laporan itu dianggap lengkap atau P21 di mana kepolisian melimpahkan perkaranya ke Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat.
Sementara itu, Kejari Jakpus telah melimpahkan perkaranya ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan dakwaan melakukan tindak pidana “masuk secara paksa kedalam rumah orang lain atau berada didalam…” sebagaimana diatur dalam pasal 167 KUHP.
Rencananya, pada Rabu (12/3) Henry akan mengajukan pledoi di PN Jakarta Pusat dengan ketua majelis hakim Adeng Abdul Kohar.
Menurut kuasa hukum Henry, Rusda Mawardi, banyak kejanggalan dalam proses penerbitan Sertifikat 483 Kebon Kosong tersebut.
“Kejanggalannya, antara bukti Pajak Bumi dan Bangunan yang dilampirkan berbeda dengan objek lahan yang ada di sertifikat,” ujar Rusda.
Komentar