Pilih Damai, Bukan Penjara: 4 Kasus Selesai Lewat Restorative Justice

JurnalPatroliNews – Jakarta – Kejaksaan Agung RI kembali menjalankan pendekatan hukum yang mengedepankan pemulihan dan perdamaian melalui mekanisme restorative justice. Dalam ekspose virtual yang dipimpin oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana, Selasa (22/4/2025), empat perkara pidana disetujui untuk diselesaikan tanpa proses persidangan.

Salah satu perkara yang mendapatkan persetujuan penyelesaian secara non-litigasi adalah kasus pencurian sepeda motor yang melibatkan tersangka Abdul Wahid. Kasus tersebut ditangani oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Tersangka disangka melanggar Pasal 362 KUHP setelah kedapatan mendorong sepeda motor Yamaha RX King milik warga bernama Dino Noviyanto di kawasan Karet Tengsin, Tanah Abang, Jakarta Pusat, pada 10 Februari 2025 dini hari.

Aksi Abdul Wahid diketahui warga dan langsung diamankan ke Pos RW sebelum diserahkan ke Polsek Metro Tanah Abang. Dalam proses penyidikan, tersangka mengakui perbuatannya, menyesal, dan meminta maaf kepada korban. Sementara itu, korban memilih menempuh jalan damai dan meminta agar proses hukum tidak dilanjutkan, dengan syarat sepeda motornya dikembalikan dalam kondisi utuh.

Merespons hal itu, Kepala Kejari Jakarta Pusat, Dr. Safrianto Zuriat Putra bersama tim jaksa fasilitator mengajukan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif. Permohonan tersebut kemudian dikaji dan disetujui oleh Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, hingga akhirnya disetujui oleh JAM-Pidum dalam ekspose nasional.

Selain perkara Abdul Wahid, tiga kasus lain yang turut disetujui untuk diselesaikan secara restoratif adalah:

  • M. Sholehasan Syamsudin dari Kejari Kotabaru, terkait dugaan pengancaman (Pasal 335 ayat 1 ke-1 KUHP),
  • Firmansyah dari Kejari Jakarta Pusat, terkait dugaan pencurian (Pasal 362 KUHP), dan
  • Weno dari Kejari Jakarta Pusat, dalam perkara penggelapan atau penipuan (Pasal 372 atau 378 KUHP).

    JAM-Pidum menegaskan bahwa pemberian keadilan restoratif ini dilakukan berdasarkan sejumlah pertimbangan, antara lain: tersangka belum pernah dihukum, baru pertama kali melakukan tindak pidana, telah meminta maaf kepada korban, serta adanya kesepakatan damai tanpa tekanan.

    Restorative justice bukan berarti melemahkan penegakan hukum, melainkan memberikan ruang bagi kemanusiaan dan rehabilitasi sosial. Ketika masyarakat mendukung, korban memaafkan, dan pelaku sadar serta berkomitmen untuk berubah, maka di situlah hukum menemukan wajah yang lebih adil,” ujar Prof. Asep Nana Mulyana menutup ekspose tersebut.

    Penghentian penuntutan dilakukan sesuai dengan Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 serta Surat Edaran JAM-Pidum Nomor 01/E/EJP/02/2022, yang menjadi dasar pelaksanaan keadilan restoratif di lingkungan kejaksaan.

    Komentar