Legislator Gerindra, Bali Soroti Dugaan Mafia Tanah di Desa Pemuteran

JurnalPatroliNewsBuleleng – Ketua Fraksi Partai Gerindra DPRD Provinsi Bali, Gede Harja Astawa, S.H., M.H., mengutarakan keprihatinannya terkait dugaan praktik mafia tanah di Bukit Ser, Desa Pemuteran, Kecamatan Gerokgak, Buleleng. Menurutnya, permasalahan ini menunjukkan kompleksitas konflik agraria yang memerlukan tindakan cepat dan menyeluruh.

“Kami melihat ada banyak kejanggalan di Bukit Ser. Suara masyarakat yang disampaikan di lapangan sering kali bertolak belakang dengan klarifikasi yang diberikan pihak tertentu. Ada indikasi pengkondisian situasi yang menghambat penyelesaian masalah secara substantif,” ujar Harja Astawa.

Sorotan atas Pelanggaran Administrasi dan Aktivitas Ilegal

Harja Astawa menegaskan bahwa semua pihak terkait harus dilibatkan untuk menggali fakta secara objektif. Ia mendorong DPRD mengambil langkah tegas, termasuk menghentikan aktivitas yang diduga melanggar hukum di lokasi tersebut.

“Kami melihat indikasi bangunan tanpa izin atau ilegal. DPRD harus segera merekomendasikan penghentian segala aktivitas tersebut sampai ada kepastian hukum,” tambahnya.

Ia juga mengungkap pola permainan yang sering terjadi dalam kasus mafia tanah. Modus yang digunakan, menurutnya, adalah memanfaatkan masyarakat lokal sebagai pemohon tanah negara.

“Tanah negara diajukan atas nama masyarakat kecil. Namun, begitu sertifikat diterbitkan, kepemilikan langsung dialihkan ke pihak investor. Ini pola permainan mafia tanah yang harus kita bongkar bersama,” tegas Harja Astawa.

Peran LSM dan Etika Profesi Dipertanyakan

Harja Astawa turut menyoroti peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam kasus ini. Ia menilai, LSM seharusnya menjadi suara masyarakat, bukan alat kepentingan ekonomi pihak tertentu.

“LSM seharusnya tetap kritis dan menjaga idealisme. Jangan sampai tergoda untuk menjual prinsip demi keuntungan pribadi,” ujarnya.

Ia juga mengkritik dugaan keterlibatan kuasa hukum yang diberikan sukses fee hingga 50% dari luas tanah yang dimohonkan.

“Apakah etis seorang advokat menerima sukses fee sebesar itu? Apakah mereka bertindak sebagai pengacara, investor, atau justru calo? Ini harus menjadi perhatian serius,” katanya.

Desakan Transparansi dan Profesionalisme Penegakan Hukum

Dalam pernyataannya, Harja Astawa mempertanyakan validitas data pemohon tanah. Meski enam orang pemohon berasal dari Desa Pemuteran, klaim bahwa mereka telah menggarap tanah tersebut selama 20 tahun diragukan.

“Tanah yang dimohonkan sebagian besar adalah tanah kosong yang tidak pernah digarap atau dihuni. Fakta kepemilikan dan riwayat transaksi juga perlu diperjelas. Aparat penegak hukum harus transparan dan profesional dalam menangani kasus ini,” ujarnya.

Ia juga menyebut bahwa praktik mafia tanah harus segera dihentikan, sejalan dengan arahan Presiden Prabowo Subianto yang menekankan pentingnya pemberantasan mafia tanah di seluruh wilayah Indonesia, termasuk Bali.

Komitmen Gerindra dalam Mendukung Masyarakat

Harja Astawa menutup pernyataannya dengan menegaskan dukungan penuh dari Partai Gerindra terhadap perjuangan masyarakat melawan mafia tanah.

“Fraksi Gerindra di DPRD Provinsi Bali akan terus mengawasi kinerja DPRD Buleleng dan aparat penegak hukum. Jika teman-teman di DPRD Buleleng masih satu visi, kami siap mendukung. Namun, jika tidak, kami akan mengambil langkah tegas demi melindungi tanah negara dari cengkeraman mafia,” pungkasnya.

Harapan untuk Masa Depan

Masyarakat Desa Pemuteran berharap agar tanah yang menjadi bagian penting kehidupan mereka bisa kembali sesuai peruntukannya. Komitmen dari pemerintah daerah dan pusat untuk melawan mafia tanah diharapkan mampu menciptakan keadilan dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum di Indonesia. (Gus/**)

Komentar