“Kami telah menghadirkan saksi ahli terlebih dahulu, karena kami mengutamakan asas peradilan yang cepat, mudah, dan sederhana. Namun, pihak penggugat terus menunda-nunda. Ini sudah gugatan ketiga kalinya dengan hanya mengganti objek substansi gugatan. Lantas, apakah klien kami yang bersalah atau justru penggugat yang sedang mencari-cari celah?” ungkap Dewanta, Saat Sidang Pemeriksaan Saksi Ahli dari Akademisi Undiksha yang dihadirkan oleh penggugat, yang dipimpin oleh Hakim Ketua I Gusti Ayu Kade Ari Wulandari, S.H,M.H, Hakim.anggota Made Astina,S.H, M.H dan Ni Putu Asih Yudiastri, S.H, M.H pada Rabu ( 19/3/2023 )
Ia juga mempertanyakan integritas saksi ahli yang dihadirkan oleh penggugat.
“Kami melihat keterangan yang diberikan sangat subjektif. Ketika kami bertanya soal amnesti perjanjian bagi warga negara asing, saksi ahli menolak menjawab dengan alasan itu bukan kapasitasnya. Jika memang ahli dalam perjanjian, seharusnya ia memahami semua aspek terkait,” tambahnya.
Lebih lanjut, Dewanta menekankan bahwa SHM atau objek sengketa dalam perkara ini telah beberapa kali diuji di persidangan.
“Pada tahun 2021, klien kami sudah digugat dan akhirnya dimenangkan karena gugatan dicabut. Tahun 2023, penggugat kembali menggugat, tetapi eksepsi kami dikabulkan karena ini ranah PTUN. Sekarang muncul lagi gugatan ketiga dengan dasar akta yang sama,” ujarnya.
Terkait dengan akses data pribadi kliennya yang digunakan oleh penggugat, Dewanta menyatakan bahwa kliennya telah melaporkan tindakan tersebut kepada pihak berwajib.
“Penggugat mengajukan data pribadi klien kami, seperti KTP, paspor, dan minuta akta. Ini perbuatan yang tidak dibenarkan dan telah kami laporkan,” tegasnya.
Dalam Persidangan Saksi Ahli dari Akademisi Undiksha yang di hadirkan penggugat menyimpulkan dengan menyatakan bahwa akta 36 dan 37 adalah akta nominee, Ahli yang menyimpulkan Akta itu nomine
“Dewanta Mengatakan undang – Undang pun tidak ada istilah akta nominee namun ahli justru berani menyimpulkan sesuatu bahkan ahli berani mengesampingkan fakta hukum bahwa apa yg ahli nilai tersebut adalah sebuah akta otentik secara undang – undang dibuat oleh seorang pejabat umum berdasarkan perintah dan jabatan sesuai amanat undang – undang dan mungkin ahli melupakan bahwa sebuah akta otentik adalah sebuah bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dimata hukum, sehingga tidaklah memerlukan alat bukti lain untuk mendukung kebenaran dan keabsahan dari akta otentik tersebut. Itu yang kami rasa ahli kemarin memberikan pandangan dan kesimpulan yg sifatnya subyektif dalam kapasitasnya sebagai ahli,” Tutup Dewanta Kuasa Hukum tergugat. (Sarjana)
Komentar