Terkait Heboh..Perjanjian DCA, Kedaulatan Indonesia Tergadaikan Untuk Singapura

JurnalPatroliNews – Pada hari Kamis 27 Januari 2022 yang lalu, Menteri Pertahanan RI Prebowo Subianto menyatakan bahwa singapura boleh menggunakan wilayah Indonesia untuk Latihan militer. Pernyataan ini sehubungan dengan telah ditandatanganinya Perjanjian Pertahanan dan keamanan atau Defence Cooperation Agreement (DCA) antara Indonesia dan Singapura.

Perjanjian ini bukannya hal baru, tapi barang lama, karena sudah pernah ditanda tangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono pada tanggal 27 April 2007. Hal ini pun dinyatakan oleh Menhan bahwa “Intinya (DCA saat ini dan DCA 2007) sama, karena memang kita kan, istilahnya, ingin mengaktualisasikannya,” tambahnya.

Untuk diketahui bahwa DCA 2007 ini pada tahun 2007 sudah ditolak oleh DPR. Penolakan itu dapat dibaca di berita berita pada tahun 2007 yaitu :

Ramai-Ramai Menentang DCA Indonesia-Singapura

https://www.liputan6.com › read › ra...

Dec 12, 2007 — Bupati  dan DPR akan bersatu menentang perjanjian kerjasama pertahanan (DCA) Indonesia-Singapura yang diadakan di Area Bravo.

Adapun wilayah DCA yang diberikan kepada Singapura adalah sebagai berikut :

Bisa dilihat pada gambar itu bahwa wilayah Bravo yang diberikan kepada Singapur untuk melakukan Latihan perang-perangan berada pada wilayah penangkapan ikan (pada gambar berwarna kuning) dan wilayah eksplorasi migas (pada gambar berwarna biru).

Pada perjanjian DCA tahun 2007 Angkatan Laut Singapura diizinkan melakukan latihan perang-perangan termasuk penembakan peluru kendali sebanyak empat kali dalam setahun di Area Bravo. Bisa dibayangkan kalau peluru kendali itu melesat menyasar ke kepulauan Natuna yang tidak jauh dari area Bravo itu. Mengingat perjanjian 2022 ini juga merupakan aktualisasi dari perjanjian 2007 (menurut Menhan) maka Area Bravo tetap seperti yang ada pada gambar itu.

Kebiasaan Internasional & UNCLOS 82

Dalam hubungan internasional, penggunaan wilayah kedaulatan tertentu di suatu negara oleh negara asing lainnya dapat dilakukan berdasarkan Kebiasaan Internasional dan UNCLOS 82.

Kebiasaan Internasional yang pertama adalah perjanjian sewa menyewa.

Yang dimaksud dengan perjanjian sewa menyewa adalah suatu negara memberikan wilayah tertentu yang berada dalam kedaulatan negara itu untuk digunakan oleh negara lain. Negara yang menggunakan wilayah itu membayar sejumlah uang dengan nilai yang disepakati oleh kedua negara itu. Sebagai akibatnya negara yang memberikan wilayah itu “kehilangan kedaulatan” pada wilayah yang sudah diserahkan kepada negara lain itu selama waktu yang disepakati. China menyerahkan Hongkong kepada Inggris berdasarkan perjanjian sewa menyewa. Setelah habis masa sewa-menyewa itu, Hongkong Kembali ke China.

Kebiasaan Internasional yang kedua adalah Perjanjian Servitude.

Yang dimaksud dengan perjanjian servitude  adalah perjanjian dimana suatu negara merdeka memberikan hak atas wilayah tertentu dari wilayah negara dalam kedaulatannya untuk digunakan oleh negara asing lainnya, untuk kepentingan negara asing itu. Negara asing yang menerima hak menggunakan wilayah yang diberikan oleh negara itu mendapat hak yang dikenal dengan sebutan hak servitude. Sedangkan arti kata Servitude menurut KBBI adalah Penghambaan atau Menghamba.

Penggunaan wilayah kedaulatan di laut juga diatur oleh UNCLOS 82. Pada pasal 51 ayat 1 UNCLOS  82 diatur bahwa untuk negara tetangga dapat saja diberikan hak untuk menggunakan wilayah kedaulatan suatu negara di laut kepulauannya. Tapi tidak dinyatakan dengan tegas bahwa penggunaan wilayah kedaulatan itu dapat diberikan untuk Latihan perang-perangan.

Selengkapnya pasal 51 ayat 1 Undclos 82 berbunyi :

1. Without prejudice to article 49, an archipelagic State shall respect existing agreements with other States and shall recognize traditional fishing rights and other legitimate activities of the immediately adjacent neighbouring States in certain areas falling within archipelagic waters. The terms and conditions for the exercise of such rights and activities, including the nature, the extent and the areas to which they apply, shall, at the request of any of the States concerned, be regulated by bilateral agreements between them. Such rights shall not be transferred to or shared with third States or their nationals

Sangat mungkin para negosiator Indonesia menggunakan pasal ini sebagai pembenaran pelaksanaan DCA. Phrasa “Legitimate activities” ditafsirkan bahwa didalamnya “termasuk Latihan perang-perangan”. Tapi juga diatur bahwa “Such rights shall not be transferred to or shared with third States or their nationals” yang artinya bahwa hak penggunaan wilayah kedaulatan itu “tidak bisa digunakan oleh negara ketiga”. Jadi misalkan Singapura mendapatkan hak penggunaan wilayah kedaulatan Indonesia itu, maka hak itu tidak bisa digunakan oleh para sahabat singapura. Sehingga kalau pun Singapura mendapatkan hak penggunaan wilayah kedaulatan Indonesia berdasarkan pasal 51 ayat 1 UNCLOS 82, maka  Singapura tidak bisa mengajak para sahabat untuk Latihan perang-perangan di wilayah laut kedaulatan Indonesia

DCA Indonesia- Singapura, Sewa-menyewa atau Servitude ?

Kesepakatan Indonesia dan Singapura , DCA di wilayah Bravo, yaitu sekitar laut Natuna, pertanyaannya adalah apakah itu kesepakatan sewa menyewa atau kesepakatan servitude. Kalau sewa menyewa berarti Singapura akan membayar sejumlah uang dan Indonesia akan memberikan wilayah tertentu yang berada dalam kedaulatan Indonesia untuk digunakan oleh Singapura. Artinya dalam wilayah yang disewa Singapura itu Indonesia kehilangan kedaulatan. Contohnya Inggris menyewa Hongkong dari China selama 99 tahun.

Dalam kaitannya dengan DCA, ternyata yang terjadi bukan sewa menyewa, akan tetapi Indonesia yang memberikan haknya kepada Singapura atas wilayah kedaulatan tertentu, dhi wilayah Bravo yang ada dalam kedaulatan Indonesia untuk “digunakan oleh Singapura” untuk “kepentingan” Singapura untuk Latihan perang-perangan di daerah Bravo itu.

Hal ini berarti Indonesia “memberikan wilayah kedaulatan Indoneseia” kepada Singapura yang akan digunakan oleh Singapura  untuk Latihan perang-perangan. Jadi Singapura mendapatkan hak servitude (servitude right).

Servitude dalam pergaulan antar negara dikenal disebut dalam Bahasa Inggrisnya : Servitude is the state of being completely submissive to and controlled by someone more powerful. When a person caters to every whim and need of another, this person is an example of someone who would be described as in servitude.

Jadi dengan adanya DCA ini merupakan pengakuan bahwa Singapura “lebih tinggi derajatnya” dari Indonesia. “Singapura menjadi boss nya” Indonesia sehingga harus diberi “service” terbaik. Sebaliknya Indonesia adalah “hamba” dari Singapura. Itulah sebabnya perjanjian berdasarkan Servitude ini dikenal juga dgn sebutan “penghambaan”. Hal ini diperkuat pula dalam KBBI servitude itu artinya “penghambaan”. Contohnya, Philipina memberikan “service” kepada amerika dengan memberikan wilayah Subic dan Clark sebagai pangkalan Angkatan laut dan Angkatan Udara Amerika. Artinya Amerika mendapatkan hak Servitude dari Philipina.

Anomali kedaulatan.

Selama ini pemerintah Indonesia selalu menyatakan bahwa kedaulatan Indonesia adalah harga mati. Bahkan ketika kapal-kapal China masuk ke ZEE Indonesia yang bukan wilayah kedaulatan pemerintah dan DPR semuanya secara lantang berteriak agar mengusir kapal kapal China. FIR yang ada di bawa kekuasaan Singapur berusaha ditarik ke kekuasaan Indonesia karena FIR melanggar kedaulatan.

Tapi aneh bin ajaib, area Bravo yang berada didalam Wilayah kedaulatan Indonesia justru diberikan kepada Singapura untuk digunakan sebagai daerah Latihan perang-perangan.

Kerugian Indonesia.

Untuk diketahui bahwa Latihan perang-perangan oleh Singapura itu termasuk penembakan peluru kendali. Selain itu sudah pasti akan ada peledakan bom laut, serta penembakan torpedo. Padahal wilayah Bravo itu adalah wilayah penangkapan ikan dan wilayah eksplorasi migas. Dengan adanya penembakan peluru kendali, ada kemungkinan peluru kendali itu bisa kesasar kemana mana kalau tidak kena sasaran. Mungkin bisa ke darat atau ke bangunan yang utk explorasi migas. Bom laut sudah pasti akan mematikan ikan-ikan yang ada di wilayah penangkapan ikan itu. Telurnya akan mati semua. Sehingga nelayan tidak akan dapat menggunakan wilayah penangkapan ikan itu. Torpedo yang tidak kena sasaran bisa kena perahu nelayan yang kebetulan ada di sekitar situ atau bangunan utk eksplorasi migas juga terancam.

Selain itu bagaimana kalau Singapura menggunakan wilayah kedaulatan Indonesia untuk melakukan latihan perang-perangan dengan negara lain yang justru musuh Indonesia. Lalu kalau misalnya akibat latihan perang itu ada kapal Indonesia yang tidak sengaja mengalami kecelakaan, tertabrak kapal misalnya, hukum apa yang akan digunakan ? Hukum Singapura atau hukum Indonesia ? Apakah para personil militer Singapura yang terlibat itu dapat dibawa ke pengadilan Indonesia ? (Karena mereka berada di wilayah teritorial Indonesia). Di mana kewibawaan Indonesia sebagai negara besar dipandang oleh negara-negara di dunia sebagai “hamba” Singapura (kita jadi pelayan) ??

Kesimpulan.

Jadi dapat disimpulkan bahwa Perjanjian DCA, pemberian wilayah Bravo untuk latihan militer Singapura  itu :

1. Ditinjau dari kebiasaan Internasional semua negara di dunia akan memandang bahwa Indonesia adalah “hamba” Singapura.

2. Ditinjau dari UNCLOS 82, bahwa dibolehkannya Singapura mengajak para sahabatnya untuk melakukan Latihan perang-perangan di wilayah laut kedaulatan Indonesia itu bertentangan dengan pasal 51 ayat 1 Unclos 82

3. UNCLOS 82 tidak secara tegas menyatakan bahwa laut kepulauan suatu negara dapat dimanfaatkan untuk kepentingan militer atau Latihan perang perangan. Phrasa ““Legitimate activities” yang ada pada pasal 51 ayat 1 UNCLOS 82 “hanya ditafsirkan” bahwa di dalamnya “termasuk Latihan perang-perangan”

4. Ditinjau dari sudut Ekonomi, hal itu akan sangat merugikan Indonesia, karena kegiatan nelayan di wilayah penangkapan ikan akan terganggu dan kegiatan eksplorasi migas juga akan terganggu.

Dengan demikian perjanjian ini DCA, khususnya area Bravo dapat dipertimbangkan untuk dipertimbangkan kembali,  karena pada tahun 2007 juga sudah pernah di tolak. Apakah kita rela Indonesia akan dikenal sebagai “hamba sahaya ” dari Singapura ? Apakah kita rela kedaulatan Indonesia tergadaikan kepada Singapura ? Mari kita renungkan bersama..

Oleh: Laksda TNI (Purn) Soleman B Pontoh

Komentar