AS dan China Berlomba Dominasi AI: Dari Perang Chip hingga Proyek Manhattan Modern

JurnalPatroliNews – Persaingan antara Amerika Serikat dan China dalam menguasai teknologi kecerdasan buatan (AI) semakin memanas. Kedua raksasa dunia ini terus saling menghalangi kemajuan satu sama lain, terutama dalam hal pengembangan chip dan akses teknologi strategis.

Sejak masa pemerintahan Presiden Joe Biden hingga kini digantikan Donald Trump, Washington telah menetapkan berbagai pembatasan terhadap ekspor chip mutakhir buatan AS ke Tiongkok. Kebijakan ini bertujuan memperlambat laju kemajuan AI di negara tirai bambu.

Sebagai respon, Beijing melarang ekspor sejumlah mineral penting, seperti galium dan germanium, yang sangat dibutuhkan dalam pembuatan semikonduktor. Komponen ini krusial untuk memproduksi chip dengan performa tinggi yang menjadi jantung dari sistem AI modern.

Chip semikonduktor sendiri memegang peran penting dalam memproses data besar (big data) dan melatih AI agar mampu mengambil keputusan dengan cepat dan akurat. Oleh karena itu, AS menilai blokade chip ke China sebagai upaya efektif untuk mengekang pertumbuhan AI yang bisa memperkuat kekuatan militer Beijing.

Namun, Presiden Xi Jinping justru merespons tekanan ini dengan mempercepat langkah menuju kemandirian teknologi. China meluncurkan program pendanaan besar-besaran bernama “Big Fund”, yang terakhir mengucurkan dana senilai US$47,5 miliar pada Juli 2024 untuk mendukung industri semikonduktor domestik.

Ketegangan ini mengingatkan kembali pada dinamika Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur, yang kini kembali terulang dalam konteks perlombaan teknologi AI. Dengan potensi ekonomi AI yang diperkirakan mencapai US$19,9 triliun pada 2030 menurut IDC, negara yang menguasai AI akan menjadi pemimpin global di masa depan.

Proyek Manhattan Versi AI: Strategi Baru AS Melawan China

Menjelang akhir 2024, US-China Economic and Security Review Commission (USCC) menyarankan agar pemerintah AS mendanai pengembangan kecerdasan buatan tingkat lanjut atau Artificial General Intelligence (AGI). Konsep ini terinspirasi dari Proyek Manhattan pada era Perang Dunia II, yang melahirkan bom atom pertama.

Komisi ini menegaskan bahwa pemerintah perlu mengambil peran aktif dalam pembiayaan AGI dan menjadikannya prioritas nasional. Mereka bahkan mengusulkan agar proyek ini berada di bawah komando Kementerian Pertahanan dan diberikan status “DX Rating”, klasifikasi tertinggi dalam sistem pertahanan nasional AS.

Jacob Helberg, salah satu komisioner USCC, menyatakan bahwa negara yang pertama kali berhasil menguasai teknologi besar seperti AGI akan berada di garis depan pergeseran kekuatan global.

Trump Gandeng OpenAI dan SoftBank, Suntik Investasi Raksasa

Tak lama setelah menjabat, Presiden Trump langsung menanggapi rekomendasi USCC dengan mengumumkan proyek pembangunan infrastruktur AI senilai US$500 miliar. Proyek ini diluncurkan bersama raksasa teknologi seperti OpenAI, Oracle, dan SoftBank melalui perusahaan patungan bernama Stargate.

Fase awal investasi sebesar US$100 miliar telah dikucurkan, dan sisanya akan disalurkan dalam empat tahun mendatang. Pembangunan pertama dilakukan di Texas, di mana Stargate akan membangun 20 pusat data canggih, masing-masing seluas hampir 5 hektar.

CEO OpenAI Sam Altman menyebut AGI bisa dikembangkan di Amerika dengan dukungan penuh pemerintah. Proyek Stargate bahkan digadang-gadang bisa menciptakan lebih dari 100.000 lapangan kerja baru.

China Guncang Dunia dengan DeepSeek R1

Sebagai respons, China meluncurkan model AI bernama DeepSeek R1 pada Januari 2025, yang tersedia dalam versi open source. Sistem ini mampu bersaing dengan AI buatan AS namun dikembangkan dengan biaya sangat efisien, yakni hanya US$5,5 juta.

Keberhasilan ini mengejutkan dunia teknologi dan investor global. Harga saham di Wall Street anjlok, dan para miliarder dunia tercatat kehilangan kekayaan hingga US$108 miliar dalam satu hari setelah peluncuran DeepSeek.

Tudingan Penyelundupan Chip dan Risiko Balik untuk AS

Pemerintah AS menuduh bahwa keberhasilan China tidak lepas dari dugaan penyelundupan chip Nvidia ke Tiongkok. Hal ini memperkuat kebijakan pemblokiran chip-chip buatan AS, termasuk model H20 Nvidia yang sebenarnya dirancang khusus untuk pasar China.

Namun, langkah ini bisa menjadi pedang bermata dua. CEO Nvidia Jensen Huang memperingatkan bahwa pemblokiran total justru bisa mempercepat pertumbuhan teknologi mandiri di China dan merugikan produsen chip AS sendiri, mengingat pasar AI China bernilai hingga US$50 miliar dalam beberapa tahun ke depan.

Asia Tenggara Jadi Basis Baru Infrastruktur AI

Sementara itu, kawasan Asia Tenggara mulai dilirik sebagai lokasi strategis untuk pembangunan data center AI. Malaysia, terutama Johor, mencatat lonjakan besar dalam proyek data center dari perusahaan seperti Microsoft dan ByteDance.

Singapura juga tetap menjadi favorit investor global dengan lebih dari 70 proyek data center aktif. Negara-negara lain seperti Thailand, Vietnam, dan Indonesia mulai menarik perhatian sebagai lokasi potensial berikutnya.

Dengan pesatnya perkembangan AI, para pakar menegaskan bahwa adaptasi terhadap era AI adalah keniscayaan. Selain mengejar peluang ekonomi, setiap negara juga dituntut menyiapkan regulasi yang mengatur etika, keamanan, dan dampak sosial dari teknologi ini.

Komentar