JurnalPatroliNews – Jakarta – Perusahaan-perusahaan di China semakin mengadopsi kecerdasan buatan (AI) generatif dalam upaya mereka untuk menghadapi ancaman siber. Qi-Anxin Group, salah satu perusahaan keamanan siber terkemuka di negara tersebut, baru-baru ini memperkenalkan alat baru mereka, QAX-GPT, yang dirilis pada Maret 2024.
Alat ini dirancang untuk meningkatkan pengembangan produk keamanan, mendeteksi ancaman dan kerentanan, serta menganalisis kejahatan di dunia maya.
Menurut Qi Xiangdong, ketua Qi-Anxin, “Model ini menawarkan kemampuan investigasi dan penilaian yang mendekati tingkat pakar keamanan menengah. Efisiensinya dalam hal alarm dan penilaian lebih dari 60 kali lipat dibandingkan dengan upaya manual.
” Pernyataan ini menggarisbawahi potensi besar dari AI generatif dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas pertahanan siber.
Sejak peluncuran ChatGPT oleh OpenAI pada akhir 2022, berbagai perusahaan teknologi dan startup di seluruh dunia berlomba-lomba mengembangkan chatbot AI dan aplikasi industri berbasis model bahasa besar.
Meski AI generatif memberikan keuntungan besar, para ahli mengingatkan bahwa alat ini juga dapat menurunkan hambatan bagi pelaku ancaman yang memiliki keterampilan teknis terbatas. Peretas mulai menggunakan AI generatif untuk membuat malware, situs web gelap, dan alat serangan siber lainnya.
Namun, perangkat AI juga bisa menjadi senjata ampuh dalam pertahanan siber. Kekurangan personel dan sumber daya sering kali menyebabkan alarm diabaikan atau ditangani secara tidak tepat, yang merupakan kerentanan signifikan dalam keamanan jaringan.
Menurut survei Qi-Anxin, “99 persen alarm yang menunjukkan ancaman keamanan siber memerlukan analisis pakar. Namun, jumlah pakar di perusahaan sangat terbatas dibandingkan dengan volume alarm yang sangat tinggi. Oleh karena itu, sistem analisis komprehensif yang didukung oleh AI akan sangat meningkatkan pertahanan keamanan.”
Zhang Zhuo, wakil presiden Qi-Anxin, menambahkan bahwa QAX-GPT dapat mempelajari dan memperoleh keahlian dari kumpulan analisis, laporan, dan artikel terkait keamanan siber jauh lebih cepat dibandingkan pakar manusia.
“Tantangan utama dalam keamanan siber adalah kelangkaan tenaga ahli, kelelahan manusia akibat alarm, dan hambatan efisiensi. Model skala besar memungkinkan kita untuk bertransformasi dari mereproduksi barang menjadi mereproduksi pengalaman para ahli,” ujar Zhang.
China, yang telah lama menjadi target serangan siber, mengalami lebih dari 42 juta serangan malware pada tahun 2020, menurut laporan dari Tim Teknis Tanggap Darurat Jaringan Komputer Nasional/Pusat Koordinasi Tiongkok. Dengan alat seperti QAX-GPT, China berharap dapat meningkatkan kemampuannya dalam melawan ancaman siber yang semakin canggih.
Komentar