Namun, hingga saat ini, hanya tiga perusahaan yang mengajukan permohonan untuk mendapatkan saran terkait implementasi perubahan ini, termasuk peraturan yang relevan dan subsidi yang tersedia. Beberapa pejabat menekankan bahwa perubahan pola pikir adalah kunci untuk mempertahankan tenaga kerja yang memadai di tengah menurunnya angka kelahiran di Jepang.
Dengan prediksi bahwa populasi usia kerja di Jepang akan berkurang hingga 40% menjadi 45 juta orang pada tahun 2065, pemerintah melihat pentingnya keseimbangan antara kehidupan kerja dan pribadi sebagai sebuah terobosan besar. Jepang, yang dikenal dengan budaya kerja kerasnya, mengalami pergeseran sikap ini di tengah tekanan sosial yang mengharuskan pengorbanan demi perusahaan.
Meskipun demikian, budaya kerja Jepang yang kuat sering kali menyebabkan para pekerja mengambil liburan bersamaan dengan rekan-rekan mereka, seperti saat liburan Bon di musim panas atau sekitar Tahun Baru, untuk menghindari kesan lalai terhadap pekerjaan. Jam kerja yang panjang masih menjadi norma, meskipun 85% perusahaan mengklaim memberikan dua hari libur seminggu kepada pekerjanya, dengan adanya batasan hukum terkait lembur yang dinegosiasikan bersama serikat pekerja.
Namun, beberapa pekerja di Jepang terlibat dalam “kerja lembur” yang tidak tercatat dan tanpa kompensasi. Fenomena ini berkontribusi pada masalah ‘karoshi’, istilah Jepang yang berarti ‘kematian karena terlalu banyak bekerja’, yang dilaporkan terjadi setidaknya 54 kali setiap tahun, termasuk kasus kematian akibat serangan jantung.
Komentar