JurnalPatroliNews – Jakarta – Industri batu bara Rusia saat ini berada di ambang krisis terdalam sejak tahun 1990-an, menyusul tekanan sanksi internasional dan penurunan tajam permintaan global. Salah satu raksasa tambang, Mechel, menjadi perusahaan pertama yang secara terbuka menerima bantuan dari pemerintah untuk bertahan di tengah badai ekonomi.
Seperti dilaporkan Interfax dan dikutip The Moscow Times, Jumat (4/7/2025), Mechel mengonfirmasi telah memperoleh penangguhan kewajiban pajak dan iuran sosial senilai 13 miliar rubel (setara sekitar Rp2,27 triliun) yang berlaku selama tiga tahun. Selain itu, perusahaan juga akan menerima insentif bulanan sebesar 500 juta rubel (sekitar Rp87,5 miliar) sebagai bagian dari skema penyelamatan industri secara nasional.
Kendati menerima bantuan signifikan, prospek sektor batu bara tetap mengkhawatirkan. CEO Mechel, Oleg Korzhov, menyebut situasi saat ini sangat berat bagi hampir seluruh produsen batu bara.
“Dengan nilai tukar saat ini, menjual batu bara sudah tidak menguntungkan,” ujar Korzhov. Ia juga menambahkan bahwa perusahaannya akan memangkas volume pengiriman hingga 25% dibandingkan tahun lalu.
Meski tidak sekuat minyak dan gas dalam menyumbang Produk Domestik Bruto (PDB), industri batu bara memainkan peran penting dalam kehidupan sosial ekonomi Rusia, khususnya di kota-kota terpencil yang bergantung penuh pada sektor ini. Namun sejak Uni Eropa memberlakukan embargo atas batu bara Rusia pada 2022 sebagai respons terhadap invasi militer ke Ukraina, ekspor sektor ini terpuruk.
Upaya untuk mengalihkan pasar ke negara-negara Asia seperti China dan India belum sepenuhnya berhasil menambal kekosongan permintaan. Menurut Isaac Levi dari Centre of Research on Energy and Clean Air (CREA), bantuan pemerintah menjadi satu-satunya pengganjal agar sektor ini tidak jatuh sepenuhnya.
“Sebagian besar perusahaan batu bara di Rusia saat ini hanya mampu bertahan berkat subsidi negara,” ujar Levi kepada Newsweek. Ia juga menyoroti anjloknya harga batu bara dan baja di China, menguatnya mata uang rubel, serta sanksi yang menyebabkan peningkatan biaya logistik dan menurunnya akses terhadap pendanaan global.
Levi menambahkan bahwa jika produksi terus dikurangi dan suku bunga mulai dilonggarkan, tekanan finansial terhadap sektor ini mungkin sedikit mereda. Namun demikian, pemulihan industri akan sangat bergantung pada dinamika permintaan dari China.
Krisis ini juga bersamaan dengan melemahnya indikator ekonomi Rusia secara keseluruhan. Tambang Spiridonovskaya di Kemerovo, Siberia, diketahui telah menghentikan operasionalnya akibat krisis dana, seperti dilaporkan Kementerian Industri Batu Bara setempat.
Indikator sektor manufaktur pun tak kalah suram. Data S&P Global menunjukkan Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Rusia anjlok ke angka 47,5 pada Juni dari 50,2 di Mei, mencerminkan kontraksi signifikan.
Kondisi ekonomi ini memicu kekhawatiran di kalangan pejabat tinggi Rusia. CEO Sberbank, German Gref, mengakui tantangan berat yang ditimbulkan oleh inflasi tinggi dan kebijakan suku bunga ketat. Sementara itu, Gubernur Bank Sentral Elvira Nabiullina menyatakan bahwa “ruang pertumbuhan sudah sangat terbatas”, dan Menteri Ekonomi Maxim Reshetnikov bahkan menyebut bahwa negara berada “di ambang resesi”.
Komentar