Inggris dan Thailand Teken Enhanced Trade Partnership (ETP)

JurnalPatroliNews – Inggris – Thailand dan Inggris resmi mengumumkan penandatanganan Enhanced Trade Partnership (ETP), pada Rabu (18/9), menandai kolaborasi pertama Inggris di Asia Tenggara. Kesepakatan ini diharapkan menjadi langkah awal menuju perjanjian perdagangan yang lebih luas, terutama dengan Thailand sebagai ekonomi terbesar kedua di kawasan tersebut.

Menteri Perdagangan Inggris, Douglas Alexander, mengungkapkan kepada Nikkei Asia bahwa kerja sama yang ditandatangani bersama Menteri Perdagangan Thailand, Pichai Naripthaphan, mencerminkan hubungan perdagangan yang semakin erat antara kedua negara. “Sejumlah produsen Eropa mendapati diri mereka sangat terekspos, dan itulah mengapa penting untuk melihat di mana peluang berada dalam hal sumber pasokan global dan rantai pasokan,” ujar Alexander.

Sektor otomotif Inggris, khususnya, berusaha memanfaatkan rantai pasokan Thailand yang luas untuk melindungi diri dari ketidakpastian geopolitik, seperti konflik di Ukraina. Selain itu, Alexander menyebut bahwa perusahaan rintisan Inggris dapat berkontribusi pada sektor teknologi canggih di Thailand, termasuk pusat data dan kecerdasan buatan—bidang yang saat ini didominasi oleh perusahaan AS dan Tiongkok.

“Kami adalah negara adikuasa jasa yang sesungguhnya,” kata Alexander, merujuk pada sektor jasa yang menyumbang 80 persen dari ekonomi Inggris. Ia berharap bisa memperkuat hubungan komersial di berbagai sektor, seperti farmasi, perawatan kesehatan, teknologi tinggi, perdagangan digital, jasa keuangan, serta barang konsumsi.

Inggris saat ini adalah mitra dagang terbesar keempat bagi Thailand di Eropa, dengan nilai perdagangan bilateral mencapai 6 miliar pound (7,9 miliar dolar AS) pada tahun 2023. ETP yang baru disepakati ini mencakup kolaborasi di 20 sektor, termasuk otomotif, layanan keuangan, dan perdagangan digital.

Pembicaraan mengenai ETP dengan Thailand telah berlangsung selama dua tahun. Kesempatan untuk menandatangani kesepakatan muncul setelah pemilihan umum pada Mei 2023, yang mengembalikan pemerintahan sipil di Thailand. Namun, pemecatan Perdana Menteri Srettha Thavisin pada bulan lalu telah membuat sejumlah investor mempertimbangkan kembali stabilitas politik di negara tersebut.

Alexander menekankan bahwa perusahaan Inggris di Thailand menghargai stabilitas, supremasi hukum, dan lingkungan bisnis yang dapat diprediksi. “Itu semua adalah atribut yang harus dicapai oleh semua pasar, mengingat modal global yang bergerak dan kebutuhan bisnis untuk merasa yakin terhadap lingkungan tempat mereka bekerja,” pungkasnya.

Komentar