JurnalPatroliNews – Jakarta – Ketegangan di Timur Tengah terus memanas setelah serangan terbaru Israel terhadap kelompok milisi Hezbollah di Lebanon. Serangan ini, yang melibatkan ledakan besar-besaran, menewaskan Sekretaris Jenderal Hezbollah, Sayyed Hassan Nasrallah, serta Komandan Garda Revolusi Iran (IRGC), Abbas Nilforoushan.
Serangan Israel itu memicu respons keras dari Iran, yang meluncurkan hampir 200 rudal ke arah Israel, meningkatkan potensi konflik skala besar di kawasan tersebut.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengutuk tindakan Iran, menyebutnya sebagai “kesalahan besar” yang akan memiliki konsekuensi serius. Israel memperingatkan bahwa mereka akan mengambil langkah-langkah lebih lanjut untuk melindungi warganya.
Utusan Israel untuk PBB, Danny Danon, menegaskan bahwa negara itu akan melakukan apa pun yang diperlukan untuk mempertahankan diri, sementara militer Israel siap untuk membalas pada waktu yang mereka anggap tepat.
Di tengah situasi ini, perhatian dunia tertuju pada bagaimana negara-negara Teluk Arab, terutama Arab Saudi, akan merespons. Meski memiliki hubungan yang buruk dengan Iran, negara-negara seperti Arab Saudi, Qatar, dan UEA juga menentang kebijakan Israel, terutama terkait Palestina.
Menteri Luar Negeri Saudi, Pangeran Faisal bin Farhan, dalam pernyataannya di Financial Times, menegaskan bahwa solusi dua negara adalah prasyarat perdamaian, bukan produk sampingan.
Namun, ancaman bahwa Israel mungkin menyerang instalasi minyak Iran dan fasilitas nuklirnya membuat negara-negara Teluk berada dalam dilema.
Di satu sisi, mereka menginginkan Iran yang lemah untuk mengurangi pengaruhnya di kawasan, tetapi di sisi lain, kemenangan total Israel dapat memberikan dampak destabilisasi jangka panjang, di mana hanya Israel yang mendominasi kekuatan di Timur Tengah.
Menurut analisis The Guardian, negara-negara Arab khawatir bahwa kemenangan penuh Israel atas Iran akan meninggalkan pelajaran yang kelam bagi kawasan, bahwa perang bisa menjadi solusi bagi konflik yang berkepanjangan.
Meskipun Iran yang lemah dapat memberikan ruang bagi pemimpin Irak, Mohammed Shia Al-Sudani, untuk lebih mengendalikan faksi-faksi yang didukung Teheran, dominasi Israel yang meningkat bisa memicu ketidakstabilan baru.
Arab Saudi, yang baru saja memulihkan hubungan diplomatik dengan Iran melalui kesepakatan damai yang dimediasi China pada 2023, memiliki alasan kuat untuk tidak terlibat dalam konflik ini. Riyadh telah menegaskan bahwa normalisasi dengan Israel tidak akan terjadi tanpa kemajuan signifikan dalam solusi dua negara untuk Palestina.
Komentar