JurnalPatroliNews – Seorang perwira tinggi militer Rusia dilaporkan tewas dalam serangan artileri presisi yang dilakukan oleh militer Ukraina pekan lalu.
Serangan ini melibatkan Sistem Roket Artileri Mobilitas Tinggi (HIMARS) buatan Amerika Serikat, dan menargetkan markas Resimen Senapan Motor ke-30 Rusia yang berlokasi di wilayah Kursk.
Informasi tersebut diungkap oleh kanal Telegram pro-Rusia Dosye Shpiona, dan dikutip oleh Newsweek pada Selasa (15/4/2025). Dalam laporan itu, disebutkan bahwa tujuh anggota militer Rusia kehilangan nyawa dalam insiden tersebut, termasuk wakil komandan resimen, seorang perwira komunikasi, dan lima tentara lainnya.
Serangan ini terjadi setelah laporan sebelumnya menyebutkan bahwa Rusia telah hampir sepenuhnya berhasil memukul mundur pasukan Ukraina dari wilayah Kursk pada bulan Maret lalu.
Wilayah Kursk, yang berbatasan langsung dengan wilayah Sumy di Ukraina timur laut, telah menjadi titik panas konflik sejak musim panas tahun lalu. Pasukan Ukraina sempat berhasil merebut sejumlah wilayah di sana, memaksa Moskow mengalihkan pasukannya dari garis depan Ukraina untuk mempertahankan wilayah perbatasannya.
Serangan HIMARS ini dilaporkan terjadi pada 11 April sekitar pukul 17.15 waktu setempat, dengan target utama berupa pos komando yang berlokasi di desa Guevo, distrik Sudzhansky, Kursk. HIMARS telah menjadi salah satu senjata andalan Ukraina dalam menargetkan fasilitas strategis milik Rusia, termasuk sistem pertahanan udara mereka yang paling canggih.
Menurut laporan Telegram tersebut, Kolonel Shipitsin, komandan resimen, termasuk di antara empat orang yang mengalami luka dalam serangan itu.
“Pos komando itu diketahui musuh dan sebelumnya telah menjadi sasaran drone dan serangan rudal. Sayangnya, tidak ada upaya untuk memindahkannya ke lokasi yang lebih aman,” ungkap laporan tersebut.
Sementara itu, kantor berita Rusia Tass menyatakan bahwa militer Moskow kini telah menguasai lebih dari 86% wilayah yang sebelumnya sempat dikuasai pasukan Ukraina di Kursk.
Konflik antara Rusia dan Ukraina yang pecah sejak Februari 2022 masih berlanjut tanpa titik terang. Meski ada sejumlah upaya diplomatik dari pihak internasional, termasuk Amerika Serikat, jalan menuju perdamaian belum juga terbuka.
Presiden AS Donald Trump, dalam masa jabatan keduanya, telah menegaskan komitmennya untuk segera mengakhiri perang sebagai bagian dari janji kampanye 2024-nya. Namun, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky berkali-kali memperingatkan bahwa ambisi Presiden Rusia Vladimir Putin tak berhenti di Ukraina, dan berisiko meluas ke negara-negara anggota NATO, yang bisa memicu konflik global yang lebih besar.
Komentar