JurnalPatroliNews – Jakarta – Duka mendalam menyelimuti Myanmar setelah gempa besar bermagnitudo 7,7 yang mengguncang negara itu pada 28 Maret 2025 mengakibatkan ribuan korban jiwa. Hingga Minggu (6/4), otoritas lokal mengonfirmasi setidaknya 3.471 orang meninggal dunia, sementara 4.671 lainnya mengalami luka-luka dan 214 orang belum ditemukan.
Tragedi ini menjadi salah satu bencana alam paling mematikan di Asia Tenggara dalam beberapa dekade terakhir.
Proses evakuasi dan penyaluran bantuan masih terkendala cuaca buruk, terutama hujan yang mengguyur wilayah terdampak. Di tengah upaya penyelamatan yang terus berjalan, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengingatkan ancaman serius lain: wabah penyakit.
Tom Fletcher, Kepala Koordinasi Bantuan Kemanusiaan PBB, menyuarakan keprihatinannya terhadap kondisi para penyintas yang tinggal di pengungsian terbuka dengan fasilitas sanitasi minim. “Warga tidur di luar, jenazah masih ditemukan di puing-puing. Risiko wabah penyakit semakin besar, apalagi jika gempa susulan terjadi,” tulis Fletcher lewat platform X.
Ia menekankan perlunya respons cepat dan terkoordinasi. “Yang dibutuhkan mereka bukan hanya bantuan, tapi juga harapan. Kita harus hadir dengan solusi nyata seperti tenda, logistik, dan perlindungan,” ujarnya.
Sejumlah negara seperti Tiongkok, India, dan negara tetangga Asia Tenggara turut mengirim bantuan kemanusiaan serta tim penyelamat ke Myanmar, yang memiliki populasi sekitar 28 juta jiwa.
Di sisi lain, Amerika Serikat mengumumkan komitmen bantuan senilai 9 juta dolar AS. Namun, pemangkasan besar-besaran dalam anggaran bantuan luar negeri AS menimbulkan kekhawatiran terhadap efektivitas distribusi bantuan. Marcia Wong, mantan pejabat USAID, menyayangkan bahwa sejumlah staf lapangan mereka justru terkena pemutusan kerja di tengah krisis. “Mereka sedang bekerja menolong, tapi malah diberi kabar PHK. Ini memilukan,” ujarnya.
Kondisi di Myanmar kian rumit karena latar belakang konflik bersenjata dan instabilitas politik pasca kudeta militer 2021. Lebih dari 3 juta orang telah mengungsi, dan banyak wilayah mengalami keruntuhan layanan publik, mulai dari kesehatan hingga pendidikan.
Meskipun pemerintah militer Myanmar sempat menyatakan gencatan senjata, laporan dari Kantor HAM PBB menyebutkan bahwa akses bantuan tetap dibatasi, khususnya di wilayah-wilayah yang dianggap oposan terhadap junta.
Bahkan setelah pengumuman gencatan senjata, serangan militer masih terjadi. Kelompok kemanusiaan Free Burma Rangers melaporkan tujuh serangan udara baru di negara bagian Karenni dan Shan hanya dalam dua hari terakhir, yang menyebabkan sedikitnya lima warga sipil tewas.
“Gencatan senjata hanya di atas kertas,” kata David Eubank, pendiri organisasi tersebut.
Komentar