Krisis Myanmar Pascagempa: Junta Militer Dikecam di Tengah Kekacauan

JurnalPatroliNews – Jakarta – Di tengah bencana gempa yang melanda Myanmar, pemimpin junta militer Min Aung Hlaing justru melakukan perjalanan ke Bangkok untuk menghadiri KTT Asia Selatan.

Langkah ini mengejutkan banyak pihak, mengingat selama ini ia dilarang menghadiri pertemuan ASEAN dan dijatuhi sanksi oleh negara-negara Barat.

Para analis menilai kehadiran Min Aung Hlaing di KTT tersebut sebagai upaya mencari legitimasi menjelang pemilu kontroversial Desember mendatang, yang diyakini hanya akan memperkuat cengkeraman militer atas Myanmar.

Sementara itu, organisasi kemanusiaan mendesak junta untuk membuka akses bantuan, mengingat kondisi di lapangan semakin memburuk. Direktur International Rescue Committee (IRC) Myanmar, Mohamed Riyas, menegaskan bahwa kebutuhan saat ini sangat mendesak.

“Dibutuhkan waktu berminggu-minggu untuk memahami skala kehancuran. Infrastruktur lumpuh, jaringan komunikasi terputus, dan akses transportasi terganggu,” ujar Riyas kepada Reuters pada Kamis (3/4/2025).

Ia menambahkan bahwa kebutuhan utama saat ini adalah layanan medis, air bersih, makanan, dan tempat tinggal sementara. Laporan dari Médecins Sans Frontières (MSF) menyebutkan bahwa 500 bangunan di Mandalay hancur total, sementara 800 lainnya mengalami kerusakan berat.

Warga Terancam Penyakit, Militer Justru Masih Melakukan Serangan

Banyak warga yang kehilangan tempat tinggal kini terpaksa bertahan di luar ruangan dengan kondisi sanitasi yang buruk dan minim akses air bersih, yang meningkatkan risiko wabah penyakit.

Namun, di tengah kondisi darurat ini, laporan dari Amnesty International mengungkap bahwa militer Myanmar masih melakukan serangan udara di dekat wilayah terdampak bencana.

Meski Min Aung Hlaing mengklaim telah menghentikan operasi militer, ia justru menuduh kelompok pemberontak memanfaatkan situasi ini untuk melancarkan serangan baru.

Sebaliknya, kelompok pemberontak utama di Myanmar sebelumnya telah mengumumkan gencatan senjata guna memastikan kelancaran distribusi bantuan kemanusiaan. Namun, hambatan terhadap bantuan masih terus terjadi.

Salah satu insiden terbaru adalah konvoi Palang Merah China yang ditembaki oleh militer Myanmar karena dianggap tidak berkoordinasi dengan otoritas setempat saat melewati zona konflik. Meski demikian, China tetap menjadi negara pertama yang mengirimkan bantuan, termasuk tim penyelamat dan bantuan senilai 100 juta yuan (Rp219 miliar).

Pemerintah China telah menyerukan jaminan keamanan bagi tim kemanusiaan, sementara organisasi HAM seperti Human Rights Watch (HRW) mendesak junta agar tidak menghalangi operasi kemanusiaan.

“Junta Myanmar tidak bisa dipercaya untuk menangani bencana berskala besar ini,” ujar Bryony Lau, Deputi Direktur HRW Asia. Ia juga meminta donor internasional untuk menyalurkan bantuan melalui lembaga independen dan bukan melalui otoritas militer.

Thailand Ikut Terdampak: Puluhan Korban Jiwa

Dampak gempa ini juga dirasakan di Thailand, di mana jumlah korban tewas dilaporkan meningkat menjadi 22 orang.

Di Bangkok, tim penyelamat masih berusaha mencari 72 orang yang dilaporkan hilang di reruntuhan sebuah gedung pencakar langit, tempat 15 orang ditemukan tewas akibat bencana ini.

Komentar