JurnalPatroliNews – Jakarta – Gaza, Palestina, tengah mengalami krisis kemanusiaan yang mendalam, di mana kebutuhan sandang menjadi salah satu masalah utama. Sejak pecahnya serangan besar pada 7 Oktober, situasi ekonomi di Gaza telah memburuk secara drastis, mempengaruhi 2,4 juta penduduk di wilayah yang dikepung oleh Israel.
Salah satu cerita pilu yang mencerminkan kondisi ini adalah kisah Safaa Yassin, seorang ibu yang terpaksa mendandani anaknya dengan bodysuit putih yang sama selama berbulan-bulan. “Saat saya hamil, saya bermimpi mendandani putri saya dengan pakaian indah.
Kini, saya tidak punya apa-apa untuk dikenakan padanya,” ungkap Yassin. Pemandangan serupa menjadi hal umum di Jalur Gaza yang hancur akibat perang selama 10 bulan terakhir.
Di Al-Mawasi, wilayah pesisir yang ditetapkan sebagai zona kemanusiaan oleh pasukan Israel, pengungsi seperti Faten Juda mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sandang anak-anaknya. Pakaian yang tersedia sering kali tidak sesuai dengan ukuran atau musim, mengingat suhu di Gaza seringkali melebihi 30 derajat Celcius.
Krisis ini tidak hanya mempengaruhi anak-anak. Banyak orang dewasa juga menderita kekurangan pakaian. Ahmed al-Masri, seorang pengungsi di Khan Yunis, mengaku bahwa sepatu dan pakaian yang dimilikinya telah rusak dan sulit diperbaiki. “Sepatu saya sudah diperbaiki 30 kali, dan setiap kali harus membayar sepuluh kali lipat dari sebelumnya,” kata al-Masri.
Sektor tekstil Gaza, yang pada masa kejayaannya memiliki 900 pabrik dan mempekerjakan 35.000 orang, kini telah mengalami penurunan drastis.
Setelah Hamas mengambil alih kekuasaan pada 2007, dan blokade yang diterapkan Israel, jumlah pabrik menyusut menjadi sekitar 100 dengan 4.000 pekerja, yang memproduksi 30.000-40.000 barang per bulan.
Pada Januari lalu, Bank Dunia memperkirakan bahwa 79% perusahaan sektor swasta di Gaza telah hancur sebagian atau seluruhnya akibat perang, dan banyak pabrik yang berhenti beroperasi setelah berbulan-bulan tanpa listrik. Kondisi ini membuat mencari pakaian baru menjadi sangat sulit dan hampir tidak mungkin.
Philippe Lazzarini, kepala UNRWA, menyebutkan bahwa beberapa perempuan di Gaza telah mengenakan jilbab yang sama selama sepuluh bulan terakhir. “Beberapa warga bahkan berbagi sepatu dan pakaian karena tidak mampu mendapatkan yang baru,” tambah Lazzarini.
Dalam situasi ekstrem ini, kebutuhan dasar seperti sabun dan deterjen untuk mencuci pakaian pun menjadi barang langka. Ahmed al-Masri, misalnya, hanya memiliki satu kaus dan celana panjang yang sama selama sembilan bulan dan terpaksa mencucinya tanpa sabun. “Saya tidak punya apa-apa lagi. Saya hanya mencuci kaus saya dan menunggu sampai kering,” ujarnya.
Krisis sandang di Gaza adalah cermin dari penderitaan yang lebih luas yang dihadapi oleh warga di tengah konflik yang berkepanjangan.
Seiring dengan kebutuhan mendesak untuk bantuan kemanusiaan, cerita ini menggarisbawahi betapa krisis ini mempengaruhi setiap aspek kehidupan sehari-hari di Gaza.
Komentar