Kursi 11A: Satu-satunya yang Menolak Kematian

Viswash sadar tubuhnya terluka, namun yang ia pikirkan hanya satu: ia masih hidup. Di sekelilingnya, serpihan logam berserakan, tubuh-tubuh bergelimpangan, sebagian terbakar. Ia mencoba berdiri, namun tubuhnya tak kuasa. Ia merangkak, mengikuti cahaya yang mengintip dari reruntuhan.

Ternyata, bagian pesawat tempat ia duduk tidak menghantam gedung secara langsung. Kursi 11A berada di sisi yang jatuh ke lantai bawah, menciptakan “kantung ruang kosong” di antara puing-puing. Di situlah nyawanya tertahan.

Sementara kakaknya, Ajay, duduk di sisi yang menabrak dinding beton. Tidak ada ruang. Tidak ada celah. Hanya kehancuran.

Satu Napas, Satu Kesempatan

Viswash sempat melihat seorang perempuan tua masih duduk dengan sabuk pengaman. Diam. Tak bergerak. Dunia di sekitarnya begitu sunyi, hanya suara api dan napas beratnya yang terdengar.

Dalam kondisi setengah sadar, ia kembali menjerit dalam bahasa ibunya. Ia tidak tahu apakah ia masih hidup atau hanya berada di antara dunia. Sampai akhirnya, seorang petugas menarik tubuhnya ke ambulans.

“Saya menangis saat itu, bukan karena luka, tapi karena saya tahu Ajay tidak akan kembali,” ucapnya.

Kini, ia dirawat di Rumah Sakit Sipil Ahmedabad, di ranjang nomor 11, sama seperti angka kursi yang ia duduki saat tragedi. Ia dikunjungi pejabat tinggi, dijaga polisi, dikerubungi media. Semua menanyakan hal yang sama: bagaimana bisa ia bertahan?

Jawabannya selalu satu: “Saya tidak tahu.”

Lebih dari Sekadar Keajaiban

Apakah ia selamat karena posisi duduk? Karena bangunan yang menyerap benturan? Karena kekuatan sabuk pengaman? Atau karena hal yang tak bisa dijelaskan?

“Mungkin Tuhan sedang menguji. Mungkin agar saya bisa menyampaikan cerita ini,” kata Viswash.

Ia kini memaknai hidup dengan cara yang berbeda. Ia ingin menjadi saksi bahwa hidup bisa berubah dalam sekejap. Bahwa garis antara kehidupan dan kematian terkadang hanya selebar lorong pesawat. Bahwa duduk di kursi pintu darurat bukan sekadar dapat ruang kaki lebih luas—melainkan kadang adalah keputusan antara hidup dan mati.

Dan di balik tragedi yang menewaskan 240 orang itu, Viswash menyimpan tekad: untuk hidup, untuk mengingat, dan untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan kedua yang nyaris mustahil dimiliki siapa pun.

Komentar