JurnalPatroliNews – Jakarta – Kebijakan tarif impor baru yang diterapkan oleh Presiden AS Donald Trump tampaknya menjadi pemantik reaksi global. Hingga kini, lebih dari 50 negara tercatat telah menghubungi Gedung Putih untuk membuka jalur negosiasi terkait langkah ekonomi yang dinilai mengguncang pasar dunia tersebut.
Informasi ini disampaikan oleh Kevin Hassett, Direktur Dewan Ekonomi Nasional AS, dalam wawancara bersama ABC News pada program “This Week”, Minggu, 6 April 2025. Menurutnya, kebijakan ini telah menimbulkan gelombang diplomasi dari berbagai negara yang ingin mencari titik temu dengan Amerika Serikat.
“Sudah lebih dari lima puluh negara yang mengajukan permintaan resmi untuk memulai pembicaraan perdagangan,” ungkap Hassett, sebagaimana dilansir oleh Reuters.
Ia juga menegaskan bahwa tidak ada tekanan politik terhadap Federal Reserve terkait suku bunga, meski rumor tentang keterkaitan tarif dan manuver moneter sempat mencuat. Hassett menyebut tarif tersebut bagian dari strategi ekonomi Trump yang bertujuan memicu dinamika di pasar keuangan—yang secara tidak langsung mendorong bank sentral menurunkan suku bunga.
Dalam unggahan videonya di Truth Social, Trump bahkan menyiratkan bahwa guncangan pasar saham yang terjadi merupakan bagian dari taktik untuk menekan The Fed agar melonggarkan kebijakan moneternya.
Sementara itu, Menteri Keuangan AS Scott Bessent, dalam wawancara terpisah bersama NBC News, mencoba menenangkan kekhawatiran publik. Ia menilai bahwa tarif yang diberlakukan tidak serta-merta akan membawa Amerika Serikat ke ambang resesi.
“Sampai saat ini tidak ada indikasi resesi, justru angka ketenagakerjaan menunjukkan pertumbuhan yang solid,” ujarnya.
Namun begitu, efek dari kebijakan tersebut langsung terasa. Bursa saham AS anjlok hingga 10 persen hanya dalam dua hari, pasca pengumuman tarif diberlakukan. Kondisi ini membuat para analis ekonomi dan pelaku pasar bersiaga, sementara negara-negara seperti Tiongkok langsung bereaksi keras dan menyusun langkah balasan.
Beberapa pengamat ekonomi memperingatkan bahwa tarif tinggi berpotensi mendorong kenaikan inflasi dan menghambat pertumbuhan ekonomi jangka panjang, terlebih karena rantai pasok global menjadi tidak stabil dan investor mulai gelisah.
Di tengah situasi yang memanas, Presiden Taiwan Lai Ching-te mengambil langkah berbeda. Ia menawarkan pendekatan dagang berbasis tarif nol, menyampaikan niat untuk menghapus hambatan dagang dan justru memperluas investasi Taiwan di AS.
“Kami memilih untuk memperkuat hubungan dagang dengan pendekatan terbuka, bukan melalui balasan tarif,” kata Lai dalam pernyataannya.
Sementara pemerintah AS tetap menyuarakan bahwa kebijakan tarif adalah langkah strategis jangka panjang untuk menguntungkan ekonomi domestik, keraguan pasar global belum mereda, dan ketidakpastian ekonomi masih menyelimuti perekonomian dunia.
Komentar