JurnalPatroliNews – Jakarta – Kepala Komite Militer NATO, Laksamana Rob Bauer, baru-baru ini mengungkapkan bahwa aliansi militer tersebut kemungkinan besar akan menempatkan pasukan di Ukraina untuk melawan Rusia jika negara tersebut tidak memiliki senjata nuklir.
Hal ini mengindikasikan ketegangan tinggi di antara kedua kekuatan besar, serta kekhawatiran NATO terhadap potensi eskalasi nuklir dalam konflik Ukraina.
“Jika Rusia tidak memiliki senjata nuklir, saya sangat yakin, kami akan berada di Ukraina dan mengusir mereka,” ujar Laksamana Bauer di KTT Pertahanan IISS yang digelar di Praha, Republik Ceko, pada Minggu (10/11/2024), sebagaimana dilaporkan oleh Newsweek.
Pernyataan ini menunjukkan betapa pentingnya senjata nuklir dalam menentukan strategi militer, karena hal ini menjadi faktor penghalang utama bagi NATO untuk terlibat langsung di medan perang.
Rusia dan Amerika Serikat (AS) adalah dua negara dengan cadangan senjata nuklir terbesar di dunia, yang menguasai sekitar 90% persenjataan nuklir global.
Sementara itu, NATO yang memiliki senjata nuklir melalui AS, Inggris, dan Prancis, terus memberikan dukungan kepada Ukraina dalam bentuk bantuan militer, tetapi tetap menghindari keterlibatan langsung dalam konflik tersebut.
Meskipun negara-negara NATO sebelumnya pernah terlibat dalam operasi militer di Afghanistan dan Irak, mereka sangat enggan untuk mengirim pasukan ke Ukraina, terutama dengan mempertimbangkan potensi konfrontasi langsung dengan Rusia yang memiliki kekuatan nuklir.
Presiden Prancis, Emmanuel Macron, sempat mempertimbangkan opsi pengiriman tentara Barat pada Februari 2024, namun ide tersebut segera ditolak oleh negara-negara NATO lainnya.
Laksamana Bauer menekankan perbedaan besar antara menghadapi Taliban di Afghanistan yang tidak memiliki senjata nuklir, dan berperang melawan Rusia di Ukraina yang memiliki cadangan senjata nuklir besar. “Taliban tidak memiliki senjata nuklir. Ada perbedaan besar antara Afghanistan dan Ukraina,” ungkap Bauer.
Sementara itu, Ukraina sendiri menegaskan bahwa mereka tidak meminta pasukan asing untuk bergabung dalam konflik, melainkan hanya meminta bantuan militer dalam bentuk peralatan dan dukungan strategis.
Pada awal invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022, Presiden Rusia Vladimir Putin menempatkan pasukan penangkal nuklir Rusia dalam status siaga tinggi, memperburuk ketegangan dan meningkatkan potensi ancaman nuklir.
Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov, beberapa bulan kemudian mengungkapkan bahwa risiko perang nuklir telah meningkat secara signifikan.
Beberapa tokoh Rusia, termasuk mantan Presiden Dmitry Medvedev, sering menyebutkan kemungkinan perang nuklir sebagai salah satu opsi dalam merespon negara-negara yang mendukung Ukraina.
Pada bulan Maret 2024, Presiden Vladimir Putin menegaskan bahwa Rusia siap menghadapi konflik nuklir jika diperlukan. Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, juga menanggapi kekhawatiran ini dengan menyatakan bahwa wacana perang nuklir yang dulunya “tak terpikirkan” kini menjadi “topik perdebatan” yang nyata.
“Ini sendiri sudah sangat tidak dapat diterima,” kata Guterres, menambahkan bahwa ancaman semacam itu harus segera dihentikan demi menghindari bencana kemanusiaan global.
Komentar