JurnalPatroliNews – Jakarta – Menjadi penagih pajak memang jarang mengundang simpati, namun nasib seorang pejabat di era kolonial VOC bernama Qiu Zuguan bahkan jauh lebih tragis—ia bukan hanya dibenci saat hidup, tetapi juga ditelantarkan ketika wafat.
Qiu Zuguan adalah kepala lembaga Boedelkamer di Batavia (sekarang Jakarta) pada awal abad ke-18. Jabatan ini memberinya kekuasaan besar dalam mengelola warisan orang-orang Tionghoa, termasuk memungut pajak dari harta peninggalan serta mengawasi proses peralihan aset ke ahli waris. Namun, alih-alih melayani masyarakat, kekuasaan tersebut ia gunakan untuk mengeksploitasi mereka.
Berdasarkan riset Leonard Blussé dalam The Chinese Annals of Batavia, Qiu mulai menjabat pada tahun 1715 dan segera menciptakan berbagai beban pajak baru yang memberatkan warga, mulai dari pungutan atas pernikahan, pemakaman, hingga dokumen penting seperti sertifikat kematian. Di tengah duka, masyarakat tetap dipaksa membayar hanya untuk mengurus jenazah keluarganya.
Penderitaan ini makin memperkeruh relasi antara Qiu dan komunitas Tionghoa di Batavia. Warga yang telah lebih dulu terbebani pajak kepala hingga pungutan kuku merasa makin tercekik oleh kebijakan sepihak yang dipaksakan lewat jalur administrasi kolonial.
Namun semua berubah drastis ketika Qiu meninggal dunia pada Juli 1721. Tak seperti pejabat lain yang biasanya dihormati, jenazah Qiu malah dibiarkan terbengkalai. Tak seorang pun dari masyarakat yang mau menggotong peti matinya menuju pemakaman. Jalanan Batavia menjadi tempat perhentian terakhir sementara bagi tubuhnya, karena rakyat menolak menyentuhnya.
Akhirnya, keluarga yang kebingungan harus membayar orang upahan agar jasad Qiu dapat dikebumikan. Namun, dendam dan kemarahan publik tak ikut terkubur. Ingatan atas penindasan yang dilakukan Qiu melalui pajak dan pungutan tak manusiawi tetap hidup dalam memori kolektif masyarakat—sebuah warisan kebencian yang melampaui ajal.
Komentar