JurnalPatroliNews – Amerika Serikat – Raksasa energi asal Amerika Serikat (AS), membukukan keuntungan hingga US$ 55,7 miliar atau setara Rp 836 triliun pada 2022. Keuntungan ini didapat setelah kenaikan harga komoditas akibat perang Rusia-Ukraina yang dimulai Februari tahun lalu.
Secara rinci, pada kuartal keempat 2022, laba naik 43,7% ke level US$ 12,8 miliar (Rp 192 triliun). Selain karena kenaikan harga minyak dan gas alam, margin penyulingan juga disebut berkontribusi dalam keuntungan ini. Hasilnya mencerminkan produksi minyak dan gas alam yang sedikit lebih tinggi pada tahun 2022. Itu, menurut Kepala Eksekutif Darren Woods, mencerminkan investasi ExxonMobil sebelum pandemi Covid-19. “Sementara hasil kami jelas mendapat keuntungan dari pasar yang menguntungkan, investasi counter-cyclical yang kami lakukan sebelum dan selama pandemi menyediakan energi dan produk yang dibutuhkan masyarakat saat ekonomi mulai pulih dan pasokan menjadi terbatas,” kata Woods dikutip AFP, Rabu (1/2/2023).
Pada tahun 2020, ExxonMobil dikeluarkan dari indeks Dow sementara sahamnya merana selama krisis virus corona, yang diakibatkan lemahnya permintaan minyak bumi. Pada saat itu, perusahaan dikritik karena mengambil lebih banyak utang daripada pesaingnya. Namun, pasca keuntungan besar yang didulang ExxonMobil dan perusahaan energi lainnya setelah perang Rusia-Ukraina, sebagian pemerintah dunia mulai mengambil kesempatan pendapatan. Pada bulan Desember, ExxonMobil bahkan menggugat kebijakan pajak ‘rejeki nomplok’ baru di Eropa. ExxonMobil, bersama dengan saingannya Chevron, juga berdebat dengan Presiden AS Joe Biden, yang telah memukul raksasa energi itu karena membeli kembali saham alih-alih memasukkan dana ekstra ke dalam investasi minyak dan gas baru. Pada tahun 2022, ExxonMobil memasukkan US$ 29,8 miliar ke dalam distribusi pemegang saham. Mereka juga membagi rata antara dividen dan pembelian kembali saham.
Komentar