Senjata Strategis Iran Bikin AS Ketar-ketir, Bukan Nuklir Tapi Selat Hormuz

JurnalPatroliNews – Jakarta – Ketegangan geopolitik di Timur Tengah kembali memuncak setelah Amerika Serikat meluncurkan serangan udara terhadap tiga fasilitas nuklir utama milik Iran.

Aksi ini memicu kekhawatiran bahwa Teheran akan membalas bukan lewat kekuatan nuklir, melainkan lewat strategi yang lebih sunyi tapi mematikan: mengguncang stabilitas pelayaran di Selat Hormuz.

Pemerintah Iran menyatakan siap merespons dengan segala opsi yang dimiliki.
“Kami tidak akan tinggal diam. Iran akan bertindak sesuai dengan hak kami untuk menjaga kedaulatan,” demikian pernyataan resmi yang dikutip usai serangan udara AS.

Dilansir Channel News Asia (Senin, 23 Juni 2025), Selat Hormuz adalah titik kunci dalam peta energi global. Sekitar seperempat pasokan minyak dunia yang dikirim lewat laut harus melewati jalur sempit ini, termasuk ke konsumen utama seperti Tiongkok dan negara-negara Eropa. Jika Iran memutuskan menghalangi jalur ini, konsekuensinya bisa memicu lonjakan harga minyak dan guncangan ekonomi global.

Iran punya sejarah panjang dalam menggunakan tekanan maritim sebagai alat diplomasi keras. Tanpa harus mengumumkan penutupan resmi, Teheran cukup membuat kondisi di selat itu terlalu berbahaya dengan penggunaan drone, kapal cepat bersenjata, hingga rudal darat-ke-laut.

Jalur Vital dengan Risiko Tinggi

Selat Hormuz terbentang sejauh 161 kilometer, dengan lebar tersempit hanya sekitar 34 kilometer. Jalur pelayaran aktual bahkan lebih kecil lagi: masing-masing hanya 3,2 kilometer untuk arah berlawanan. Letaknya yang dekat dengan pantai Iran menjadikan kapal-kapal tanker sangat rentan terhadap serangan.

Hingga akhir 2024, tercatat hampir 20 juta barel minyak mentah dan kondensat per hari melewati selat ini—angka yang mencakup ekspor dari Arab Saudi, Irak, Kuwait, UEA, dan Iran sendiri. Selat Hormuz juga menjadi jalur utama ekspor gas alam cair (LNG), terutama dari Qatar yang menyuplai lebih dari 20% pasokan LNG dunia.

AS Pernah Kirim Armada Tempur ke Wilayah Ini

Ketika ancaman terhadap pelayaran meningkat, Amerika dan sekutunya biasanya merespons dengan kekuatan militer. Contohnya saat Tanker War (1980–1988), Angkatan Laut AS mengawal kapal-kapal dagang di Teluk Persia. Pada 2019, Washington mengirim kapal induk dan pesawat pengebom B-52, serta membentuk koalisi keamanan maritim bersama 10 negara—dikenal sebagai International Maritime Security Construct (IMSC).

Namun sejak 2023, perhatian militer AS sebagian besar dialihkan ke wilayah Laut Merah dan Selat Bab el-Mandeb, di mana serangan milisi Houthi yang didukung Iran makin sering mengganggu pelayaran internasional.

China Diajak Ikut Campur

Terbaru, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio secara terbuka meminta Beijing menggunakan pengaruhnya terhadap Teheran. Mengingat Tiongkok adalah pembeli utama minyak Iran dan menjalin hubungan dekat dengan Republik Islam tersebut, Washington berharap Tiongkok dapat menekan Iran untuk tidak menutup selat.

“Saya mendorong pemerintah China untuk menghubungi Iran soal ini. Mereka sangat bergantung pada Selat Hormuz untuk pasokan energinya,” ujar Rubio dalam wawancara di Fox News.

Komentar