Tony pun mengungkapkan ia sempat diundang berbagi pengalamannya di panggung TEDxTALK, di
mana ia tidak hanya membantu imigran secara individu saja, tetapi juga memfasilitasi budaya yang
lebih luas dalam berintegrasi dengan masyarakat Taiwan.
Tony menyampaikan, latar belakang etnis campurannya telah membentuk pemahamannya akan
identitas dan kepemilikan, hingga membuatnya memahami apa arti nasionalisme.
Ini akhirnya membuat ia dapat menghargai kedua akar dalam hidupnya, Indonesia dan kehidupannya
di Taiwan, ujar Tony yang lahir di Medan, Sumatera Utara.
Ia pun menyampaikan harapannya agar semua hadirin dalam konferensi internasional tersebut dapat berkontribusi untuk memperkuat suara mereka yang kurang terwakili dan mempromosikan
pemahaman serta solidaritas.
Hal ini merupakan tugas semua dari mereka, dan penting untuk dilanjutkan demi mencapai visi misi
dalam mengadvokasi kebebasan berekspresi hingga dapat menciptakan lingkungan yang damai di
kawasan Asia-Pasifik, ujar Tony.
Tony juga menggarisbawahi perlunya memahami dan menjaga nilai-nilai demokrasi, inklusivitas, dan
hidup berdampingan secara damai di kawasan Asia-Pasifik.
“Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh,” kata Tony, menambahkan bahwa dengan bersama, mereka
dapat menciptakan kehidupan sosial masyarakat di mana “Setiap suara itu penting, dan setiap cerita
akan memperkaya narasi kita bersama.”
“Ubah rasa benci menjadi cinta dan kasih sayang, itulah yang saya lakukan dan membuktikan bahwa
komunikasi membuat rasa benci menjadi kasih sayang, dan dunia akan indah pada akhirnya,” ujar
Tony menutup pidatonya.
Dikutip dari laman Asia Center, “Shrinking Civic Space in Asia: Stories of Resistance and Pushback”
adalah tajuk konferensi internasional tahunan ke-9 yang diadakan Asia Center di Bangkok, Thailand
pada 21 sampai 23 Agustus 2024. Konferensi ini membahas kisah-kisah perlawanan dalam upaya
mempertahankan ruang sipil di Asia.
Penulis: Med-Taiwan
Komentar