‘Mereka ingin menyalahkan orang lain’
Kita belum tahu banyak mengenai pria yang disangkakan melakukan serangan seperti “Joker”di Jepang.
Tapi para ahli yang saya ajak bicara mengaitkan hal ini pada peristiwa di Tokyo pada 2008 – ketika pria muda mengendarai sebuah truk ke kerumunan pembeli di distrik elektronik Akihabara yang populer, kemudan mulai menikam orang-orang di sekitarnya.
Pria yang melakukan serangan 2008 itu berasal dari keluarga papan atas yang hidup dengan tekanan tinggi. Tapi dia gagal dalam ujiam masuk universitas, dan akhirnya bekerja pada pekerjaan kasar.
Sebelum melakukan serangan, dia sempat berusaha bunuh diri dan mengunggah pesan di internet yang intinya merupakan rencananya untuk membunuh orang lain.
“Ini seperti terorisme, tapi ini bukanlah terorisme,” kata seorang kriminolog lainnya yang enggan disebutkan namanya.
“[Serangan] Akihabara merupakan pembunuhan massal,” katanya. “Tindakan ini berasal dari orang biasa atau orang lemah, seseorang yang pernah jadi korban perundungan. Mereka cenderung menumpuk stres.
“Mereka punya hasrat untuk bunuh diri, sehingga mereka pikir ‘jika saya bunuh diri, saya mungkin bisa membawa yang lainnya bersama saya’. Mereka terutama ingin menyalahkan orang lain, atas situasi yang mereka hadapi.”
Kejahatan itu punya kemiripan pada serangan massal di Amerika Serikat, tapi dengan perbedaan utama.
Pertama-tama, Jepang punya aturan ketat soal senjata.
Kedua, mempertontonkan tindakan kasar atau agresi merupakan hal tabu bagi masyarakat di sini, yang mungkin jadi satu alasan kejahatan seperti ini sangat jarang terjadi.
“Agresi yang terkadang ditunjukan ke dalam – [yang biasanya muncul sebagai] bunuh diri,” kata Profesor Harada dari Universitas Tsukuba.
“Jika Anda mengubahnya keluar, ini akan menjadi pembunuhan atau tindakan kasar lainnya. Ini seperti dua sisi koin. Jepang sangat terkenal dengan tingkat bunuh diri yang tinggi.
“Tapi agresi dan jenis tindak kejahatan lainnya sangat rendah. Sehingga orang Jepang sepertinya mengarahkan agresi ke dalam. Itulah salah satu alasan tindakan agresi sangat rendah di negara ini.”
Bagaimana pun, terdapat persepsi bahwa serangan seperti ini akan terjadi lebih sering di Jepang.
Sejauh ini sudah terdapat tiga insiden di jaringan kereta Tokyo sejak Agustus.
Para psikolog mengatakan, pandemi kemungkinan telah mendorong kesulitan ekonomi dan isolasi sosial, keduanya kemungkinan jadi pemicu. Mereka juga prihatin mengenai besarnya perhatian media tentang serangan joker.
“Saat insiden serupa terjadi [di masa lalu] kami melihat peniruan pasti muncul,” kata Profesor Harada.
“Jadi, saya kira, ini merupakan persoalan bahwa media memberikan rincian, informasi, bagaimana kejahatan itu dilakukan. Jadi, saya pikir ini merupakan masalah besar.”
Memang, kita sudah melihat satu upaya serangan tiruan, dan kepolisian mungkin telah melakukan pencegahan pada yang lainnya.
Tapi terlepas dari kekhawatiran yang dapat dipahami, para ahli yang saya ajak bicara mengatakan kita harus melihat jumlahnya dan mereka menunjukkan bahwa selama 50 tahun terakhir, kekerasan yang dilakukan laki-laki telah menurun secara drastis, dan bahwa Tokyo tetap menjadi salah satu tempat teraman di dunia.
Komentar