Suku Pemburu Singa ‘Maasai’ di Afrika Yang Kini Melindungi Sang Raja Hutan

JurnalPatroliNews – Dalam masyarakat tradisional Maasai, membunuh singa adalah ritual. Namun berkat program konservasi inovatif di Kenya, Afrika, singa dan Maasai dapat hidup berdampingan.

Sejak dia bisa mengingat, Meiteranga Kamunu Saitoti, dari suku Maasai, bermimpi membunuh singa.

Ketika dia masih kecil di Maasai di Kenya selatan, singa ada di mana-mana.

Taman Nasional Amboseli, yang terkenal dengan gajah, singa, dan pemandangan Gunung Kilimanjaro, tidak jauh ke selatan.

Singa dan hewan lainnya bergerak bebas tanpa pagar di tanah komunal Maasai tempat Saitoti tinggal.

Tanah komunal Maasai, juga disebut peternakan kelompok, secara geografis dekat, namun jauh dari taman nasional.

Di dalam Amboseli, gajah berkubang di rawa-rawa hijau tua dan kucing besar serta hyena menguntit rusa dan kerbau.

Di tanah yang terbentang di seberang sana, singa-singa yang bersembunyi bermain petak umpet dengan para penggembala Maasai dan ternak mereka di dataran keras yang berubah berdebu di musim kemarau dan menjadi rawa-rawa berlumpur setelah hujan.

Ini masih terjadi di sebagian besar pedesaan Afrika. Singa dan pemangsa lainnya hidup berdampingan dengan manusia, bukan di balik pagar, dan kehidupan diperoleh dengan susah payah untuk keduanya.

Maasai dan singa telah berbagi tanah ini selama berabad-abad. Maasai melihat diri mereka sendiri seperti mereka melihat singa – sebagai bangsawan, superior dan tangguh.

Ukuran keberanian Maasai

Lebih dari itu, singa selalu menjadi ukuran tertinggi dari keberanian prajurit Maasai.

Dalam sebuah ritus peralihan yang dikenal dalam bahasa Maa sebagai olamaiyo, seorang pemuda yang mencapai usia dewasa harus membuktikan kesiapannya menjadi seorang pejuang dengan cara membunuh seekor singa.

Ketika Saitoti masih anak-anak, anggota keluarganya menceritakan kisah-kisah indah tentang perburuan singa dan pertemuan dekat dengan sang pemangsa.

Banyak yang diharapkan darinya: di keluarganya saja, ayah dan pamannya telah membunuh 15 singa.

Saitoti membunuh singa pertamanya ketika dia berusia 19 tahun. Dia menguntit singa betina melalui semak-semak dengan gaya calon prajurit, lalu menusuknya dari jarak dekat. Dua anak singa betina melarikan diri ke semak-semak.

Ini bukan pembunuhan serampangan. Perburuan singa Maasai adalah pertempuran sampai mati antara dua musuh yang kuat.

Ini bukan perburuan trofi, yang seringkali dilakukan ‘pemburu olahraga’ yang menunggu di posisi tersembunyi yang aman, sampai seekor singa terpancing umpan, lalu menembaknya dengan senjata bertenaga tinggi.

Membunuh singa dengan tombak dalam pertarungan tangan kosong membutuhkan keberanian besar.

Perburuan singa Maasai juga relatif jarang, dan ritual pembunuhan ini berdampak kecil pada jumlah singa secara keseluruhan.

singa, afrika, masai, kenya, pelestarian

SUMBER GAMBAR,GETTY IMAGES

Keterangan gambar,Amboseli dikenal dengan kawanan gajah yang megah dan pemandangan Gunung Kilimanjaro dari negara tetangga, Tanzania.

Beberapa tahun setelah pembunuhan pertamanya, Saitoti membunuh empat singa lagi. Dia adalah salah satu pembunuh singa terbaik dari generasinya, pahlawan bagi rakyatnya.

Maasai tidak bisa membayangkan hidup di dunia tanpa singa, dan mereka juga tidak mau.

“Jika tidak ada singa di Maasailand, itu berarti sesuatu yang buruk,” kata Saitoti. “Auman singa adalah tanda kebahagiaan di alam liar, dan keberuntungan.”

Tapi kemudian semuanya berubah.

Populasi manusia berkembang pesat

Populasi manusia di Amboseli telah berkembang pesat selama beberapa dekade, dan pada tahun 2006 mencapai titik kritis ketika 100 singa Amboseli hidup bersama 35.000 Maasai dan dua juta ekor ternak.

Dengan hanya sedikit ruang tersisa untuk singa dan mangsa liar mereka, di luar kebiasaan, para singa mulai membunuhi ternak.

Maasai pun mulai membunuh singa, bukan sebagai ritus peralihan, tetapi sebagai pembalasan. Pada tahun 2006, orang Maasai menombak atau meracuni 42 singa.

Itu adalah perubahan budaya mendasar yang menjadi ancaman kepunahan singa-singa Amboseli.

“Dulu ada begitu banyak singa saat saya masih muda,” kata Saitoti, bertahun-tahun kemudian. “Kami hampir memusnahkan mereka.”

Namun, pada saat itu, Saitoti tidak memiliki firasat tentang gambaran yang lebih besar.

Setelah membunuh singa keempatnya pada tahun 2006, Saitoti ditangkap, dipenjarakan sebentar dan didenda 70.000 shilling Kenya (sekitar £465); meskipun tersebar luas, pembunuhan singa, seperti halnya perburuan lainnya, merupakan tindakan ilegal di Kenya sejak 1977.

Tidak lama setelah Saitoti dibebaskan dari penjara, beberapa sapinya hilang. Yakin bahwa singa telah mengambil mereka, dia mengejar, melacak dua singa melalui semak-semak.

Beberapa jam kemudian, dia merangkak dengan jarak satu atau dua meter dari singa jantan yang sedang tidur dan menusuknya di dada dengan tombak.

singa, afrika, masai, kenya, pelestarian

SUMBER GAMBAR,GETTY IMAGES

Keterangan gambar,Program Lion Guardian didedikasikan untuk menemukan cara bagi orang Maasai dan singa untuk hidup berdampingan.

Mencari bukti bahwa singa telah membunuh sapi-sapinya, Saitoti membelah perut binatang itu. Kosong.

Tiba-tiba dia menyadari kesia-siaan membunuh singa yang tidak bersalah. Saitoti memberi tahu pemuda Maasai yang bersamanya bahwa tidak boleh ada perayaan.

Meskipun surai dan ekor singa adalah piala penting dan membawa prestise besar bagi pembunuh singa Maasai, ia melemparkan bangkai singa ke semak-semak dan dengan gontai berjalan pulang dalam diam.

Bulan-bulan berikutnya terasa berat bagi Saitoti. Dia menjadi penyendiri. Ketika prajurit muda lainnya berangkat berburu singa, dia tinggal di rumah.

Penolakannya untuk bergabung segera menjadi mencolok. Yang lain mulai mengejeknya. Mereka menyebutnya pengecut.

Sebutan itu tak menyenangkan, tetapi Saitoti bertahan: dia tahu bahwa dia telah membunuh singa terakhirnya.

Saat itulah Saitoti mendengar tentang program konservasi yang mulai beroperasi di daerah itu.

Disebut Penjaga Singa, premisnya sederhana: pejuang muda Maasai yang pernah membunuh singa menjadi pelindung singa dan komunitas Maasai. Saitoti pun pergi untuk wawancara.

Sebagai bagian dari program, warga Maasai setempat bekerja dengan dua ahli konservasi Amerika, Dr Leela Hazzah dan Dr Stephanie Dolrenry.

Bertahun-tahun kemudian, Dolrenry mengingat pertemuan pertama mereka dengan Saitoti: “Kami baru datang di daerah itu dan kemudian kami melakukan wawancara.

Dia masuk dan dia sangat serius. Leela bersemangat – ‘[Dia] seorang pembunuh, [dia] seorang pembunuh’,” katanya, mengacu pada tatapannya yang tajam dan pembawaannya.”

Mereka berdua tahu bahwa keberhasilan program akan tergantung pada seorang pejuang terkenal dan pembunuh singa seperti Saitoti untuk memimpin.

Saitoti tidak perlu diyakinkan. Tak lama, dia sudah keluar melacak singa sebagai Penjaga Singa.

singa, afrika, masai, kenya, pelestarian

SUMBER GAMBAR,GETTY IMAGES

Keterangan gambar,Anak laki-laki Maasai menggembalakan sapi dan kambing sejak usia dini, dan kepemilikan dikaitkan dengan kekayaan dan status.

Prajurit seperti Saitoti ahli melacak singa untuk dibunuh. Sebagai penjaga singa, mereka melacak sapi-sapi yang hilang dan bahkan para penggembala muda yang mengalami disorientasi di semak-semak, dan memperingatkan orang lain untuk menghindari tempat-tempat di mana ada singa.

Di tempat ini dulu para pejuang membunuh singa untuk membuktikan kesiapan mereka melindungi komunitasnya.

Sekarang, mereka membuktikan diri dengan membantu menjauhkan ternak dan penggembala mereka dari singa.

Ketika pemuda Maasai sebelumnya menunjukkan keberanian mereka dengan membunuh singa, sekarang mereka menunjukkan keberanian dengan menghentikan rekan Maasai mereka berburu singa.

“Mencegah perburuan singa jauh lebih sulit daripada menghadapi singa itu sendiri,” kata Saitoti, yang berpengalaman melakukan keduanya.

Pada patroli pertamanya sebagai Penjaga Singa di Selenkay Conservancy, sebuah peternakan kelompok Maasai di utara Taman Nasional Amboseli, Saitoti mulai melacak singa betina tertentu.

Pada awalnya, tidak ada yang mengerti mengapa singa betina ini harus menjadi singa pertama yang dia lacak. Suatu malam, dia dan Dolrenry bertemu singa betina itu, memasangkan kalung radio padanya, lalu membebaskannya.

“Secara tradisional, ketika seorang petarung membunuh singa pertamanya, mereka diberi nama singa yang akan dipakai selamanya,” kata Hazzah.

Nama singa Saitoti adalah Meiteranga, yang berarti “Yang pertama”, dan nama itu diberikan ketika dia membunuh singa pertamanya.

“Sekarang mereka melacak seekor singa, dan singa itu menjadi “milik” mereka. Mereka menamainya. Penamaan menjadi jauh lebih penting daripada yang pernah kita bayangkan. Sekarang kita benar-benar melihat komunitas Maasai berkabung atas kematian singa, karena setiap singa memiliki nama dan cerita.”

Saitoti menamai singa betina itu Nosieki sesuai dengan area pertemuan mereka. Saitoti tahu bahwa Nosieki, adalah anak singa yang melarikan diri dari tempat pembunuhan singa pertama Saitoti, ketika dia berusia 19 tahun.

Dia telah membunuh ibu Nosieki, maka sekarang dia bersumpah untuk melindungi anaknya.

“Sebelumnya, saya membunuh karena alasan adat, untuk membuktikan bahwa saya adalah seorang pejuang,” kata Saitoti ketika ditanya tentang transisinya dari pembunuh singa menjadi pelindung.

“Itu memberi saya kebanggan yang besar. Begitulah adatnya dulu. Sekarang saya juga mendapatkan kepuasan yang sama ketika saya menyelamatkan singa, sama seperti ketika saya biasa membunuh mereka.”

singa, afrika, masai, kenya, pelestarian

SUMBER GAMBAR,GETTY IMAGES

Keterangan gambar,Suku Maasai melihat diri mereka seperti mereka melihat singa: sebagai bangsawan, superior, dan tangguh.

Dampak penjaga singa seperti Saitoti langsung terasa. Program ini dimulai pada tahun 2007 dengan hanya lima penjaga.

Di daerah di mana mereka beroperasi bersama mitra konservasi lainnya, pembunuhan singa berhenti. Di tempat lain, pembunuhan singa terus berlanjut tanpa henti.

Pada tahun 2018, misalnya, tidak ada satu pun singa yang terbunuh di area Lion Guardian, dibandingkan dengan 15 di area serupa di sekitarnya.

Kepadatan populasi singa telah meningkat enam kali lipat dalam beberapa tahun sejak program penjaga singa dimulai.

Jumlah singa secara keseluruhan meningkat tiga kali lipat dan lebih dari 40 penjaga sekarang berpatroli di hampir 4.000 km persegi.

Satu setengah dekade setelah ia mulai bekerja sebagai penjaga singa, Saitoti sekarang memasuki masa setengah pensiun, merawat ternaknya dan mewariskan pengetahuannya kepada generasi pejuang baru.

Pengetahuan tersebut, katanya, termasuk “praktik budaya penting seperti rasa hormat, berbagi makanan dengan teman sebaya dan pelestarian alam”.

Sebagai pembunuh singa, dia dan sesama penjaga singa meninggalkan warisan yang luar biasa, berubah menjadi penyelamat singa dan ternak yang sangat penting bagi kehidupan Maasai.

Dalam prosesnya, mereka telah menghembuskan kehidupan baru ke dalam tradisi budaya kuno yang masih sangat hidup.

Komentar