JurnalPatroliNews -Rusia – Perang Rusia-Ukraina telah menimbulkan dampak negatif yang luas bagi negara-negara dunia. Tak hanya di Eropa, tapi juga di Asia dan Arab. Krisis ini diakibatkan oleh peran Rusia dan Ukraina yang sangat vital dalam distribusi energi dan juga pangan. Bahkan, ada beberapa negara yang terancam kelaparan oleh perang antara dua negara jiran itu.
Berikut daftarnya seperti dirangkum rekan media, dikutip Kamis (2/2/2023):
- Korea Selatan (Korsel)
Pada Rabu, Korsel mencatat defisit perdagangan sebesar US$ 47,5 miliar atau Rp 711 triliun untuk tahun 2022. Ini menandai defisit perdagangan terburuk sejak badan tersebut mulai mengumpulkan data pada tahun 1956 dan jauh lebih besar dari defisit perdagangan US$ 20,6 miliar pada tahun 1996. Tak hanya dalam tahun 2022, ekspor pada bulan Januari 2023. turun 16,6% atau US$ 46,3 miliar. Impor juga mengalami pelemahan 3,6% menjadi US$ 59 miliar. “Ada beberapa harapan bahwa ekonomi dunia tidak akan menghadapi situasi sesulit yang diharapkan berkat pembukaan kembali China dan pertumbuhan tak terduga dari ekonomi sekitarnya,” kata Menteri Ekonomi dan Keuangan Korsel Choo Kyung Ho dalam pertemuan dengan para pejabat dikutip rekan media.
Choo menyebut melebarnya defisit perdagangan yang terlihat di bulan Januari disebabkan oleh beberapa faktor seperti energi dan chip. Diketahui, untuk energi, terjadi peningkatan harga-harga bahan bakar pasca perang Rusia-Ukraina yang menghambat kegiatan perekonomian di Negeri Ginseng. - Jepang
Jepang mencatat defisit neraca perdagangan terbesarnya tahun 2022 lalu. Hal ini dipicu oleh melonjaknya harga energi dan bahan mentah, yang diperparah oleh jatuhnya mata uang yen secara dramatis. Sebagai negara minim sumber daya, Jepang sangat bergantung pada impor bahan bakar fosil. Tapi harganya melonjak tajam tahun lalu sebagian besar karena serangan Moskow ke Kyiv.
Pada tahun 2022 nilai impor adalah 19,97 triliun yen atau setara Rp2.355 triliun. Ini lebih tinggi dari ekspor dan menjadi defisit terbesar Jepang. - Negara-Negara Arab
Krisis biaya hidup yang dialami beberapa negara di dunia juga dirasakan di wilayah Arab. Baik Arab yang berada di Asia hingga Afrika Utara, hampir seluruh negara merasakan tingginya inflasi yang disertai merosotnya nilai mata uang terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Pound Mesir telah kehilangan setengah nilainya terhadap dolar sejak Maret tahun lalu, menyusul devaluasi yang diminta sebagai bagian dari perjanjian pinjaman Dana Moneter Internasional (IMF) senilai US$ 3 miliar (Rp 45 triliun). Inflasi utama negara itu juga telah menembus 21,9% pada Desember. Harga pangan mengalami kenaikan hingga 37,9%. “Sepertinya kita terkena gempa bumi; tiba-tiba Anda harus melepaskan segalanya,” kata Manar, ibu dua anak asal Mesir berusia 38 tahun, kepada kantor berita AFP yang dikutip Arab News, Selasa. “Sekarang, apa pun kehidupan semi-manusia yang telah dilakukan orang telah direduksi menjadi pemikiran tentang berapa harga roti dan telur.”
Perekonomian Mesir telah berjuang untuk pulih setelah pandemi Covid-19. Tetapi serangan Rusia ke Ukraina memicu krisis terbaru, karena kedua negara tersebut adalah pengekspor utama gandum ke Mesir dan sumber pariwisata massal. Menurut Bank Dunia, hampir sepertiga dari 104 juta penduduk Mesir saat ini hidup di bawah garis kemiskinan, dan hampir sebanyak itu ‘rentan jatuh ke dalam kemiskinan.’ Hal serupa juga dialami Lebanon. Pound Lebanon baru-baru ini mencapai titik terendah sepanjang masa dan kini telah kehilangan sekitar 95% nilainya sejak dimulainya krisis keuangan di negara itu pada akhir 2019. Yordania, Suriah, dan Irak juga mengalami kenaikan besar-besaran dalam harga makanan, bahan bakar, dan barang-barang penting lainnya. Di sisi lain, daya beli masyarakat terus turun, yang menyebabkan protes dan gelombang kerusuhan yang sebelumnya jarang terjadi. “Kehidupan sekitar 130 juta orang di wilayah tersebut sekarang dirusak oleh kemiskinan,” menurut Survei Perkembangan Ekonomi dan Sosial di Wilayah Arab, yang diterbitkan pada bulan Desember oleh Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia Barat.
Sebelum perang di Ukraina dimulai, Rusia adalah pengekspor gandum terbesar di dunia dan Ukraina yang terbesar kelima, masing-masing menyumbang sekitar 20% dan 10% dari ekspor global. Oleh karena itu, blokade pelabuhan Laut Hitam Ukraina tahun lalu mengakibatkan lonjakan besar-besaran harga pasar biji-bijian, minyak goreng, dan pupuk. Hal ini menyebabkan harga barang kebutuhan pokok seperti roti melambung tinggi di seluruh wilayah Arab.
Meskipun kesepakatan yang ditengahi PBB musim panas lalu memungkinkan pengiriman biji-bijian Laut Hitam untuk dilanjutkan, sanksi Barat terhadap barang-barang Rusia, termasuk produk hidrokarbon, menaikkan harga bahan bakar dan, pada gilirannya, biaya impor.
“Ketahanan pangan telah terancam di beberapa negara, terutama yang menyaksikan konflik dan kerusuhan (baik politik maupun ekonomi), karena keranjang makanan menjadi semakin tidak terjangkau,” kata Majed Skaini, manajer regional Program Perbandingan Internasional di UN ESCWA.
Komentar