Tarif Impor Memanas: AS dan China Terlibat Aksi Balas Dendam Dagang Hingga 145%

JurnalPatroliNews – Jakarta – Hubungan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China memasuki babak baru yang makin panas. Kedua raksasa ekonomi dunia ini saling menaikkan tarif impor, menciptakan ketegangan perdagangan global yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Pada Jumat, 11 April 2025, pemerintah China yang dipimpin oleh Presiden Xi Jinping secara resmi menaikkan tarif atas produk-produk asal AS menjadi 125%, dan kebijakan ini akan mulai berlaku keesokan harinya. Langkah tersebut merupakan respons langsung terhadap tindakan Presiden Donald Trump yang menaikkan tarif impor dari China menjadi 145%, sebuah rekor tertinggi dalam sejarah hubungan dagang kedua negara.

Konflik ini bermula sejak awal tahun:

  • 20 Januari 2025, Trump meluncurkan doktrin America First Trade Policy, menyuarakan niat untuk memperketat pengawasan terhadap defisit perdagangan, termasuk dengan pemberlakuan tarif tambahan global.
  • 1 Februari, dimulailah gelombang tarif baru. Produk dari China dikenai bea masuk 10%, utamanya untuk menekan masuknya fentanil dan zat terlarang. Kebijakan de minimis juga dicabut, artinya barang kiriman kecil kini tak luput dari tarif.
  • 4 Februari, China langsung merespons dengan tarif balasan: 15% untuk batubara dan LNG AS, 10% untuk minyak mentah, alat berat pertanian, hingga kendaraan besar. China juga mulai membatasi ekspor logam tanah jarang.
  • Dalam rentang waktu selanjutnya, AS terus memperluas cakupan tarif. Mulai dari impor baja dan aluminium (25%), tarif mobil global (25%), hingga tarif timbal balik atas seluruh mitra dagang.
  • Di sisi lain, Beijing tak tinggal diam. Mereka menargetkan sektor pertanian AS dengan bea masuk untuk daging, kedelai, hingga produk susu. Bahkan, lebih dari 30 perusahaan Amerika dikenai sanksi.

Puncaknya, pada 9 April, Trump mengumumkan tarif tambahan sebesar 84% untuk barang China, yang digabungkan dengan tarif 20% sebelumnya, menjadikan total beban tarif menjadi 104%. Tidak berhenti di sana, bea timbal balik dinaikkan lagi menjadi 125%, ditambah dengan peningkatan tarif de minimis yang mencapai 120% per item.

11 April, China membalas dengan menaikkan tarif barang-barang dari AS ke 125%, efektif mulai 12 April. Meski demikian, otoritas China menyatakan bahwa ini adalah batas akhir balasan tarif mereka, dan tidak akan mengambil langkah lanjutan.

Dengan masing-masing pihak mengunci bea masuk di angka tiga digit, perang tarif ini bisa menjadi pemicu ketidakstabilan ekonomi global—mengganggu rantai pasok internasional, mendorong inflasi, dan menekan pertumbuhan perdagangan dunia.

Komentar