Situasi di Tajikistan pun tak kalah pelik. Warga sekitar tambang emas Zarafshon, yang 70% sahamnya dimiliki Zijin, melaporkan masalah serupa: pencemaran udara dan tekanan terhadap mereka yang berani bersuara.
Abutolib Mukhtorov dari desa Shing menggambarkan kondisi pagi hari yang selalu diselimuti asap tambang. “Tidak ada yang bisa bernapas,” ujarnya.
Firuza Kahorova, seorang perempuan yang sempat ikut unjuk rasa di Panjakent pada 2023, bahkan menceritakan pengalaman pahit saat ditahan. “Kami hanya bertanya kenapa kami diperlakukan seperti kriminal. Saat saya pingsan, mereka berkata: ‘Jangan beri dia air. Kasih tanah saja,’” kenangnya getir.
Pihak Zijin membantah tudingan-tudingan tersebut dan menyatakan bahwa seluruh operasinya mematuhi hukum yang berlaku. Mereka juga mengklaim tengah membangun tambang ‘hijau’ pertama di Serbia dan berkomitmen beroperasi di Tajikistan hingga dua dekade ke depan.
Namun bagi banyak warga, janji-janji itu terasa kosong. Miodrag Zivkovic, yang kehilangan lahan garapan di Serbia, kini hanya mengandalkan uang pensiun sebesar 200 euro untuk hidup. “Kalau Anda bisa hidup dengan itu, beri tahu saya caranya,” katanya sinis.
Di balik angka-angka pertumbuhan ekonomi dan laporan keuntungan, suara-suara dari desa kecil di Serbia dan Tajikistan menjadi pengingat bahwa tidak semua kemajuan berarti kesejahteraan—terutama ketika yang dikorbankan adalah hak hidup dan martabat masyarakat lokal.
Komentar