Dibalik Polemik!, BNPT Sebut : Pertanyaan TWK Pegawai KPK Kreasi Asesor untuk Korek Kebenaran

JurnalPatroliNews – Jakarta, Asesmen tes wawasan kebangsaan (TWK) yang dijalani pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai syarat alih status menjadi aparatur sipil negara (ASN) belakangan menuai polemik. Salah satunya terkait pertanyaan di dalam proses TWK yang dinilai sebagian pihak tidak relevan dengan wawasan kebangsaan.

Direktur Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisas Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) Brigjen Pol R Ahmad Nurwakhid menyatakan, tim asesor yang dikoordinasikan oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan terdiri dari sejumlah lembaga lainnya, seperti BNPT, Badan Intelijen Negara (BIN), Pusat Intel Angkatan Darat, Badan Intelijen Strategis (BAIS), dan lainnya memiliki independensi dan profesionalitas dalam menjalankan tugasnya.

Dikatakan, tim asesor memiliki otoritas dalam berkreasi dalam melontarkan pertanyaan untuk mengeksplorasi wawasan kebangsaan peserta asesmen.

“Sejatinya tim asesor memiliki otoritas dan berkreasi di dalam memberikan pertanyaan untuk mengorek atau mendapatkan informasi secara benar dan objektif terhadap objek yang diwawancarai,” kata Ahmad Nurwakhid dalam keterangannya, Sabtu (12/6/2021).

Dicontohkan, pertanyaan memilih antara Pancasila dan Alquran. Nurwakhid mengatakan, tujuan pertanyaan tim asesor itu untuk mengetahui sejauh mana kematangan peserta di dalam memahami agama. Peserta yang berpotensi radikal, akan memilih Alquran, sedangkan, peserta yang memiliki nasionalisme cenderung akan memilih Pancasila.

Menurutnya, mengamalkan Pancasila sejatinya sama dengan mengamalkan agama karena semua sila dalam Pancasila adalah perintah Allah SWT di dalam Alquran.

“Bagi mereka yang memiliki kematangan dalam beragama tentu akan menjawab seperti itu. Bisa mereka menjawab tidak memilih dua-duanya atau dia bisa mengatakan memilih Pancasila karena kalau memilih Pancasila sama saja juga memilih Alquran atau dia menjelaskan memilih dua-duanya itu,” kata Nurwakhid.

Terkait pertanyaan mengenai penggunaan jilbab, Nurwakhid, mengatakan, pertanyaan itu diajukan untuk mengetahui sejauh mana peserta mampu memilih dan memilah antara kewajiban agama dengan kewajiban di dalam mentaati aturan di lembaga tempatnya mengabdi.

“Katakanlah di TNI Polri ataupun ASN ada ketentuan “tidak boleh menggunakan menggunakan jilbab”, sementara di dalam agama kewajiban menutup aurat meskipun jilbab merupakan budaya di dalam rangka kewajiban menutup aurat, maka seorang ASN, TNI/Polri kalau dia moderat dia akan memilih untuk mengikuti ketentuan yang sudah menjadi kesepakatan di dalam institusinya di mana yang bersangkutan disumpah,” katanya.

Demikian pula terkait pertanyaan mengenai pernikahan siri atau menikah untuk kedua kalinya dan seterusnya. Nurwakhid mengatakan, mereka yang berstatus warga sipil, atau bukan berstatus sebagai ASN, atau anggota TNI/ Polri memang diperbolehkan untuk menikah secara siri atau menikah dua kali, karena dibenarkan di dalam fikih keagamaan. Namun, ketentuan tersebut tentu berbeda bagi ASN atau anggota TNI/Polri yang tidak memperbolehkan untuk menikah siri atau menikah kedua kalinya.

“Ketika dia TNI-Polri ataupun ASN di mana ketentuannya tidak boleh melakukan hal tersebut maka kalau moderat dia akan menjawab saya tidak akan melakukannya karena dilarang di dalam ketentuan institusi kami. Tetapi kalau mereka berpotensi radikal maka dia akan menjawab boleh dan kecenderungan dia melanggar,” katanya.

Nurwakhid menekankan, tugas tim asesor bertujuan menggali informasi secara benar dan objektif. Untuk itu diperkenankan berkreasi dalam melontarkan pertanyaan sesuai dengan kaidah. Hal itu dilakukan lantaran seseorang yang berpotensi radikal cenderung Taqiyyah atau bersembunyi, bersiasat untuk menutupi agenda ataupun niatannya.

“Sehingga pertanyaan yang macam-macam itu merupakan kreasi atau variasi yang digunakan oleh para asesor untuk menemukan jawaban tersebut dan asesor tentu saja dalam hal ini menggunakan teknik wawancara secara investigatif bukan teknik wawancara penelitian pada umumnya tapi investigatif seperti seorang penyidik di dalam mengeksplor jawaban atau keterangan daripada terperiksa dan lain sebagainya,” katanya.

Untuk itu, Nurwakhid menilai pertanyaan-pertanyaan dalam asesmen TWK pegawai KPK merupakan sebagai lumrah dan wajar. Namun, Nurwakhid menduga terdapat pihak tertentu yang sengaja mengembuskan atau ‘menggoreng’ proses asesmen TWK pegawai KPK, termasuk terkait pertanyaan yang diajukan kepada peserta untuk kepentingan dan tujuan tertentu.

“Saya kira hal-hal seperti sesuatu yang sangat biasa dan sengaja ini digoreng sebagai bentuk perlawanan dari mereka. Justru menurut saya hal ini menunjukkan bentuk perlawanan ini menunjukkan bahwa apa yang ditanyakan oleh para asesor menemukan kebenarannya,” katanya.

Hal ini, kata Nurwakhid, lantaran salah satu karakter kaum radikal adalah kecenderungan untuk melawan atau memberontak atau insubordinasi terhadap segala ketentuan ataupun peraturan yang ada maupun melawan terhadap pemimpin atau pemerintahan yang sah. Selain itu, seorang yang radikal cenderung memiliki kontrol emosional yang labil, cenderung mengeklaim kebenaran, seperti merasa paling benar, merasa paling suci atau merasa paling adil.

Disebutkan, kaum radikal juga kerap mengeklaim sebagai representasi umat atau masyarakat mayoritas; cenderung playing victim atau merasa diperlakukan tidak adil, dizolimi; cenderung bermain dengan peta konflik dengan memantik atau membuat isu yang bertujuan membuat konflik.

“Kemudian mereka juga pandai ber-taqiyyah yaitu bersiasat, termasuk berbohong untuk menyembunyikan jati diri ataupun agenda atau niatannya. Dan yang paling bahaya adalah mereka kecenderungan untuk menghalalkan segala cara atas nama agama,” ungkap Nurwakhid.

Nurwakhid menjelaskan, kecenderungan sikap dan perilaku semacam itu disebabkan oleh sifat dasar yang gemar mengkafirkan entitas agama lain atau pemahaman atas ajaran agama tertentu atau disebut takfiri. Watak tersebut, katanya memunculkan perilaku lain seperti eksklusifitas, intoleransi dan kecenderungan menghalalkan segala cara.

Selain itu, kata Nurwakhid, kaum radikal cenderung antipemerintahan yang sah. Dikatakan, sikap anti-pemerintah bukan berarti bersikap sebagai oposisi ataupun kritis, tetapi sikap membenci pemerintahan dengan destruktif, menyebar kebohongan, hate speech, provokatif maupun adu domba.

“Karena memang kecenderungan mereka sejatinya adalah ingin membentuk distrust masyarakat kepada pemerintahan yang sah. Kemudian mereka anti-Pancasila, pro-khilafah atau pro-daulah Islamiyah. Kemudian mereka kecenderungan anti budaya ataupun kearifan lokal keagamaan dan lain sebagainya. Ini yang menjadi kewaspadaan kita bersama,” katanya

Komentar