Lewat Surat Edaran, KPK Tegaskan Tetap Bisa Usut Korupsi di BUMN

JurnalPatroliNews – Jakarta –  Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan tidak kehilangan taji dalam menindak praktik rasuah di tubuh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), meskipun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN telah resmi berlaku.

Penegasan tersebut diperkuat dengan diterbitkannya Surat Edaran (SE) KPK pada awal Mei 2025, yang memperjelas posisi lembaga antikorupsi tersebut dalam melakukan penindakan terhadap penyelenggara negara—termasuk yang berada dalam lingkup BUMN.

Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menyampaikan bahwa surat edaran ini menjadi penegas arah kerja internal KPK sekaligus sebagai sinyal kuat bahwa lembaga ini masih memiliki mandat penuh untuk menjalankan tugas-tugas pemberantasan korupsi.

“Meski ada regulasi baru, KPK tetap berwenang dalam aspek pencegahan, pendidikan antikorupsi, penindakan, hingga supervisi atas tindak pidana korupsi, termasuk di BUMN,” ujar Budi di Gedung Merah Putih KPK, kawasan Kuningan, Jakarta.

Budi juga menegaskan, para petinggi BUMN seperti direksi, komisaris, hingga dewan pengawas tetap digolongkan sebagai penyelenggara negara. Hal ini merujuk pada Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 yang menjadi dasar hukum KPK dalam menindak mereka.

“Setiap kerugian yang timbul di BUMN adalah bagian dari kerugian negara. Itu prinsip yang kami pegang teguh,” kata Budi menambahkan.

Ia menjelaskan bahwa surat edaran tersebut bersifat internal, namun juga dimaksudkan untuk mempertegas kembali sikap KPK kepada publik di tengah perubahan lanskap hukum yang diatur dalam UU BUMN yang baru.

Sebelumnya, Ketua KPK Setyo Budiyanto turut menanggapi polemik tersebut. Ia menegaskan bahwa meskipun Undang-undang BUMN yang baru mengandung sejumlah pasal yang dianggap berpotensi mempersempit ruang gerak KPK, hal itu tidak serta-merta menghapus kewenangan KPK.

Pasal-pasal yang menjadi sorotan antara lain Pasal 9G, yang menyinggung batasan penyelidikan oleh KPK, serta Pasal 4B dan Pasal 4 Ayat 5, yang mendefinisikan kerugian di BUMN bukan sebagai kerugian negara dan memisahkan status kekayaan negara dalam BUMN.

Namun Setyo menyatakan bahwa KPK tetap mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yakni Putusan MK No. 48/PUU-XI/2013 dan No. 62/PUU-XI/2013, yang kemudian diperkuat oleh Putusan No. 59/PUU-XVI/2018 dan No. 26/PUU-XIX/2021. Putusan-putusan tersebut, kata Setyo, menjadi pegangan hukum yang memperjelas bahwa kekayaan negara di BUMN masih dapat ditelusuri dalam konteks kerugian negara.

“Putusan-putusan MK itu menjadi fondasi yang mengakhiri perdebatan tentang status kekayaan negara di BUMN. Jadi posisi KPK tetap kuat,” pungkas Setyo.

Komentar