JurnalPatroliNews – Jakarta – Lembaga Studi Anti Korupsi (LSAK) menyatakan dukungan penuh terhadap langkah tegas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tetap berkomitmen menindak praktik korupsi di lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), meskipun terdapat ketentuan baru dalam UU BUMN yang memunculkan kontroversi.
Peneliti LSAK, Ahmad Hariri, menggarisbawahi pentingnya sikap konsisten KPK dalam menegakkan hukum terhadap para pejabat BUMN.
Ia menilai, tindakan tersebut sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), yang secara jelas menyebut jajaran direksi, komisaris, dan pengawas BUMN sebagai bagian dari penyelenggara negara.
“UU 28/1999 ini memiliki posisi hukum yang lebih kuat dan prinsipil, karena mengatur penyelenggara negara secara umum dan strategis, termasuk pejabat di BUMN,” terang Hariri dalam pernyataan tertulisnya, Kamis (8/5/2025).
Menurutnya, kehadiran UU Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN justru menimbulkan kekhawatiran, lantaran mendefinisikan pejabat BUMN bukan sebagai penyelenggara negara, yang dinilainya dapat memperlemah pengawasan dan pengenaan sanksi hukum.
“UU ini bukan hanya menyempitkan definisi pejabat publik, tapi juga menimbulkan celah hukum. Terutama terkait penghapusan frasa ‘kerugian negara’ dalam konteks keuangan BUMN, yang berdampak besar pada peran KPK,” ujarnya.
LSAK pun mempertanyakan motif di balik lahirnya UU BUMN yang baru, mengingat banyak pasal yang berpotensi membatasi peran penegak hukum dalam memproses pelanggaran di perusahaan milik negara.
Ia juga menilai penggunaan prinsip business judgement rule dalam UU tersebut membuka ruang abu-abu dalam penegakan hukum, sehingga KPK berisiko hanya terjebak dalam pendekatan pencegahan tanpa bisa menindak secara hukum.
“Di balik istilah-istilah teknokratis, tersimpan risiko impunitas terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh petinggi BUMN,” tegas Hariri.
Lebih jauh, LSAK mendorong agar UU BUMN yang baru disahkan pada Februari 2025 itu segera diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka mengajak masyarakat sipil untuk menggugat undang-undang tersebut sebagai bentuk perlawanan terhadap regulasi yang dinilai membatasi transparansi dan akuntabilitas publik.
“UU ini terlalu banyak menyimpan celah dan menyulitkan lembaga pengawas seperti KPK untuk bekerja optimal. Sudah saatnya masyarakat menggugat pasal-pasal bermasalah ini agar dikoreksi secara konstitusional,” pungkasnya.
Komentar