Berdasarkan tiga fakta tersebut, menjadi fakta tersendiri pula bahwa keberadaan aset perkara Jiwasraya yang ditangani BPA tidak lagi berkaitan dengan Jampidsus. Pertanyaannya, mengapa KSST selalu ngotot melaporkan Jampidsus ditengah penyidikan korupsi kakap.
Logika umum publik kian sulit mempercayai laporan KSST adalah apakah Jampidsus ‘sebodoh’ itu ‘bermain’ dengan aset sitaan yang sudah dikendalikan lembaga lain. Padahal kalau mau, ia bisa saja ‘menilep’ sebelum aset itu disita dan belum dikendalikan lembaga lain.
Sebagai lembaga penegak hukum, KPK memang wajib menampung semua pengaduan masyarakat. Termasuk pengaduan yang dipelopori KSST. Namun para pemimpin KPK tentu tidak akan membiarkan lembaga anti rasuah itu ‘dimanfaatkan’ pihak tertentu sebagai alat pengganggu pemberantasan korupsi yang sedang dilakukan Kejagung.
Selain akan membuang waktu dan energi, alangkah baiknya sumber daya yang ada di KPK di gunakan untuk penanganan kasus kasus korupsi besar dan menjadi prioritas kepentingan bangsa atau masyarakat banyak.
Sehingga masyarakat akan menilai bahwa semua aparat penegak hukum kompak memberantas korupsi yang selama ini dikeluhkan Presiden Prabowo Subianto dan menjadi hambatan untuk mencapai target kemakmuran masyarakat sebagaimana ASTA CITA yang harus terwujud.
Sementara soal kasus Zarof Ricard terkait asal usul uang suap Rp920 miliar serta 51 kilogram emas yang ditemukan di rumahnya saat penggeledahan tidak dimasukan dalam surat dakwaan, karena belum ada alat bukti yang kuat dan tersangka Zarof Ricard tidak mau buka suara dan memberikan keterangan kepada penyidik Jampidsus mengenai asal usul uang suap dan gratifikasi hampir Rp1 triliun tersebut.
Hal tersebut disampaikan Direktur Penuntutan pada Jampidsus, Sutikno dalam menanggapi dakwaan JPU terhadap terdakwa Zarof Ricar.
Ia mengatakan pada saat penyidikan, Zarof Ricar tidak mengakui bahwa uang hampir Rp1 triliun dan 51 kilogram emas itu berasal dari hasil suap dan gratifikasi penanganan perkara di pengadilan dan Mahkamah Agung (MA).
Bahkan, kata Sutikno, tim penyidik Jampidsus telah berupaya mengejar semua sumber alat bukti untuk mengetahui asal uang suap yang diterima Zarof. Namun hingga batas waktu penahanan Zarof habis, alat bukti tersebut belum diperoleh. Jaksa telah berupaya, tapi alat bukti yang cukup baru ditemukan dalam kasus suap yang di terima KPN Heru Budi yang kemudian ditetapkan tersangka,” kata Sutikno.
Selain perkara Zarof Ricar masih dikembangkan penyidik, Zarof Ricar sebenarnya juga bukan seorang hakim yang memutuskan sebuah perkara. Ia hanya berperan sebagai perantara untuk mengurus perkara. Peranannya lebih tepat sebagai makelar kasus (markus).
Oleh karena itu pengenaan pasal suap kepada Zarof Ricar tidak tepat karena ia tak memiliki kewenangan sebagai objek transaksional. Namun pengenaan pasal gratifikasi akan mudah terbukti karena tak menuntut penerima gratifikasi memiliki kewenangan atau tidak. Selain itu, ancaman hukuman maksimal suap lebih rendah dari gratifikasi.
Atas dasar itu sangat aneh jika ada pihak yang ingin Kejagung menyelesaikan dulu semua dugaan pengurusan perkara sebelum perkara Zarof Ricar dilimpahkan ke pengadilan. Ini logikanya sama saja mendorong status Zarof Ricar lepas demi hukum.
Komentar