Terkait Sengketa Konsesi Hutan Lindung Dan Tanah Adat di Desa Tukkotnisolu KPK Diminta Bongkar “Dosa” Pihak Kehutanan Lagi

JurnalPatroliNews – Jakarta,- Sengketa konsesi hutan lindung dan tanah adat milik masyarakat 147 kk di Desa Tukkotnisolu Kecamatan Habinsaran Barat, Kabupaten Toba, Sumatera Utara mendapat perhatian serius dari kalangan aktivis di Ibukota Jakarta.

Maruli Siahaan salah seorang aktivis pemerhati tanah hak adat yang juga merupakan putra asal kelahiran Kecamatan Habinsaran, Kabupaten Toba kepada JP online, Kamis (1/12/2022), mengatakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sangat perlu membongkar sejumlah ” dosa” pihak Kehutanan termasuk pihak terkait setiap ada persoalan. Pasalnya,  lanjut dia, dalam setiap terjadinya kasus sengketa hutan lindung dan tanah adat milik masyarakat, kinerjanya patut di duga terjadi KKN secara melawan hukum.

“Itu hampir dapat dipastikan bahwa pihak Kehutanan di seluruh daerah tidak dapat terlepas dari permasalahan sengketa hutan lindung dengan tanah adat,” Ujar Maruli.

Seperti  kejadian di Desa Tukkotnisolu, Kecamatan Habinsaran, akibat pihak TPL mengaku mendapat hutan konsesi dari kehutanan berhasil memenjarakan Dirman Rajagukguk karena  adanya laporan Polisi dari pihak PT. Toba Pulp Lestari (TPL) itu sendiri yang menyebutkan bahwa Dirman Rajagukguk telah melakukan pengrusakan tanah produsen pulp industri yang biasa dikenal dengan pulp bubur kertas itu,” ujar Maruli Siahaan.

Ironisnya, lanjut Maruli Siahaan,  pihak Kehutanan Kabupaten Toba lewat kepala desa Tukkotnisolu dengan dalil program “tora’ , saat pihak kehutanan ingin memasang patok merah, mereka mengakui dihadapan masyarakat kaum ibu Kamis 1/12/2022 disaksikan Frida Rajagukguk  putri Dirman Rajagukguk kalau kehadiran mereka  di Desa Tukkotnisolu tidak mengetahui batas-batas tanah hutan konsesi yang disebut  sebagai pemberian pihak Kehutanan kepada TPL.

“Jika KPK mau perduli dengan penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi, sudah saatnya lembaga antirasuah itu mumpung posisinya ada yang sedang di sumut supaya memeriksa dugaan aliran dana dari pihak TPL kepada oknum majelis hakim yang menyidangkan perkara Dirman Rajagukguk,” tegasnya.

Masih menurut Aktivis pemerhati tanah hak adat tersebut, bukti adanya “dosa” pihak kehutanan dalam setiap sengketa lahan seperti di Desa Tukkotnisolu, karena pihak Kehutanan secara sepihak membuat penunjukan hutan milik negara.

Itu terbukti, adanya Surat Keputusan Menteri Kehutanan dengan Nomor SK 44/Menhut-II/2005 tentang Penunjukkan Kawasan Hutan di Provinsi Sumatera Utara seluas 3,742 hektar dinyatakan tidak sah dan tidak berlaku untuk umum.

“Mahkamah Agung telah mengeluarkan putusan yang memenangkan gugatan uji materiil Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK. 44/Menhut-II/2005, yang diajukan Ketua LSM Forum Peduli Bona Pasogit Sintong Maruap Tampubolon, Torang Lumbangtobing (saat masih Bupati Taput),dan Mangindar Simbolon, saat (Bupati Samosir). Dalam putusannya, Hakim Agung yang dipimpin Paulus Effendi Lotulung menyatakan, SK Menhut tentang Penunjukan Kawasan Hutan Di Provinsi Sumatra Utara Seluas ± 3.742.120 hektar itu tidak sah,” terang Maruli Siahaan.

Hakim Agung menilai, SK Menhut Nomor 44 itu melanggar UU Nomor 19 Tahun 2004 Jo. UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Juga melanggar PP Nomor 44 Tahun 2004 Tentang, Perencanaan Kehutanan Republik Indonesia.

Selain itu, juga melanggar UU Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Tata Ruang, PP Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang.

Dalam putusan tertanggal 2 Mei 2014 itu, Mahkamah Agung juga memerintahkan Menteri Kehutanan untuk mencabut SK Menhut Nomor 44 dimaksud.

“Tetapi, akal bulus pihak Kehutanan karena kalah dalam perkara tidak berhenti sampai disitu. Melalui Menteri Kehutanan Nomor SK.579/2014 kembali berulah dan terus ingin memaksakan kehendak menguasai tanah rakyat. Dan aturan ini dinilai tidak berpihak kepada masyarakat dan petani lantaran lahannya diklaim masuk kawasan hutan, sementara tidak tahu dimana batas hutan milik negara yang dimaksud, dan dengan mudahnya memberikan kepada pihak penanam modal, yang dinilai kurang ber peri kemanusiaan terhadap rakyat susah” sesalnya.

Bahkan, paling mengenaskan, lanjut Maruli Siahaan, pihak Kehutanan dengan kewenangannya  memanfaatkan  hukum positif melakukan teror kepada masyarakat awam hukum , jika melawan langsung dilapor dengan alasan merusak hutan lindung, cara itu sudah rahasia umum,  dilakukan demikian agar masyarakat untuk segera hengkang dari desa masing-masing. 

“Misalnya, dimulai dari penawaran pemasangan patok, jika mentok baru memakai hukum positif melaporkan warga ke pihak Polisi, dan selanjutnya ditangkap dan di masukkan ke penjara seperti yang di alami Dirman Rajagukguk. Pertanyaan  masyarakat, apakah ada kontrak politik Menteri Kehutanan kepada Presiden RI, apakah ada butir hak menyengsarakan hak hidup rakyat hanya demi pengusaha yang banyak uang ?  Kapan keadilan untuk rakyat,” katanya 

Aktivis pemerhati tanah hak masyarakat itu mengemukakan, bahwa sudah saatnya para oknum pejabat negara kehutanan bertobat dari perbuatan menyusahkan rakyat desa.

Menurutnya, apalagi di kehidupan ini diyakini bahwa harta, jabatan, kekuasaan manusia ada batasnya. Maruli Siahaan juga mengingatkan untuk menghargai serta menyadari amanat UUD 1945 Rakyat bernegara.

Sebagaimana diberitakan, Masyarakat Adat  DesaTukkonisolu, Kecamatan Habinsaran Barat, Kabupaten Toba, Sumatera Utara yang tergabung dalam Solidaritas Masyarakat Sipil untuk perduli nasib Dirman Rajagukguk, meminta Pengadilan Tinggi (PT) Medan supaya membatalkan putusan Pengadilan Negeri ( PN) Balige Tanggal 6 OKTOBER 2022 NOMOR: 116/PID.B/LH/2022/PN. (AMS)

Komentar