Mengapa Kita Semakin Terbiasa Dengan Lembur Tanpa Dibayar?

JurnalPatroliNewsKita kini bekerja lebih lama dari sebelumnya, baik untuk membuka dan membalas email saat larut malam atau menerima telepon pada pagi hari. Bagaimana aktivitas di luar jam yang tidak dibayar ini bisa menjadi bagian dari pekerjaan kita?

Ketika Erik mengambil pekerjaan pertamanya sebagai asisten pengacara di sebuah firma hukum internasional, dia tahu aturan jam kerja normal dari pukul sembilan pagi hingga lima sore tidak berlaku.

Berbasis di Hong Kong, kantor hukumnya bergengsi tapi juga terkenal kejam dalam hal mempekerjakan pegawai baru. Beban kerja yang mengerikan hingga larut malam tidak bisa dinegosiasikan.

“Itu hanya berlaku dalam industri hukum. Umumnya pengacara tidak dibayar untuk jam lembur. Kadang-kadang, saya harus begadang,” kata Erik.

Erik sekarang bekerja di Beijing, China dan masuk ke jenjang karier yang lebih tinggi. Dia kini menghadapi lebih sedikit pekerjaan yang harus dia tuntaskan hingga pagi hari berikutnya.

Namun, pekan kerja konvensional tetap sulit dipahami. “Bekerja selama 40 jam seminggu akan menjadi pekan yang ringan bagi saya,” kata Erik.

“Jam kerja saya bergantung pada kebutuhan klien. Saya tidak memiliki pilihan untuk bekerja lebih sedikit.”

Hari-hari yang berlarut-larut di meja kerja dengan cepat terakumulasi. Di Inggris, sebelum pandemi, lebih dari lima juta pekerja rata-rata menjalani lembur hingga 7,6 jam seminggu.

Itu setara 35 miliar poundsterling (Rp680 triliun) dalam bentuk lembur yang tidak dibayar.

Sekarang, menurut angka global dari ADP Research Institute, satu dari 10 orang mengatakan mereka lembur hingga 20 jam seminggu tanpa dibayar. Rata-rata, pekerja menjalani 9,2 jam lembur yang tidak dibayar setiap minggu.

Di seluruh dunia, tingkat lembur meningkat tajam setelah pandemi Covid-19. Jumlahnya meningkat dua kali lipat di kawasan Amerika Utara.

Kerja jarak jauh telah meningkatkan masalah. Rata-rata hari kerja secara global diperpanjang hampir dua jam.

Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pemberi kerja di Inggris mengakui bahwa staf mereka bekerja dengan jam tambahan yang tidak dibayar setiap hari.

Pekerja dapat mengaitkan kenaikan lembur dengan hilangnya batas antara kehidupan pribadi dan pekerjaan. Selama pandemi, perjalanan dari rumah ke kantor, bangunan kantor secara fisik dan jam istirahat makan siang tidak dirasakan banyak pekerja kerah putih.

Mereka juga tidak memiliki batas yang jelas kapan memulai dan menyelesaikan jam kerja. Mereka membuka email saat sarapan. Jam kerja berlanjut hingga malam hari. Rapat melalui Zoom bahkan juga berlangsung hingga dini hari.

Bagi banyak pekerja, lembur di luar jam kerja telah menjadi harapan, bukan pengecualian. Namun ini jarang secara eksplisit dijabarkan secara lisan, apalagi secara tertulis.

Komentar