Mengapa Orang-orang yang Bekerja di Sektor Jasa Alami Kelelahan Mental Parah?

JurnalPatroliNewsJam kerja panjang dan upah rendah memukul orang-orang yang bekerja di sektor jasa. Sejak pandemi, para pelanggan yang marah dan efisiensi bisnis membuat segalanya menjadi lebih sulit.

Dua badai berskala besar menghantam Pulau Saint John di Amerika Serikat secara berurutan pada tahun 2017 memicu dampak sangat negatif pada Karen Granitz, seorang pemilik restoran yang sudah berkecimpung selama 50 tahun di industri jasa.

Namun perempuan berusia 65 tahun itu berusaha bangkit dan membuka kembali bisnisnya. “Saya bisa melihat harapan dari situasi buruk itu,” ujarnya.

Pandemi Covid-19 telah menjadi cobaan yang lain baginya.

“Tidak ada akhir yang terlihat dan kita tidak bisa memegang kendali. Ini sangat mengerikan,” kata Granitz.

Keadaan yang belum pernah terjadi yang dipicu pandemi akhirnya memaksa Granitz menghentikan bisnisnya.

“Saya menutup restoran ini Februari lalu, bukan karena keinginan untuk mengasingkan diri dari pandemi, bukan karena kami tidak cukup sibuk, bukan karena saya tidak bisa mendapatkan suplai bahan dan bukan karena perilaku sebagian kecil wisatawan yang mengejutkan,” katanya.

Masalahnya, kata Granitz, para pegawainya mengalami kelelahan mental akut sehingga mereka berhenti bekerja.

“Pelanggan yang bersikap kasar menyebabkan ketegangan di rumah para pekerja saya. Kewajiban memakai masker melelahkan dan staf-staf saya cemas, entah mereka mengakuinya atau tidak,” kata Granitz.

Ketika pegawainya tidak datang untuk bekerja, Granitz harus menggantikan peran mereka.

“Saya terlalu tua untuk melakukan pekerjaan selama 16 jam sehari dan tugas yang secara fisik semestinya dilakukan oleh enam orang,” ujarnya.

“Jadi saya menyatakan akan berhenti sebelum tandu harus membawa saya keluar dari restoran ini,” kata Granitz.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2019 menyebut kelelahan mental sebagai “fenomena yang dipicu pekerjaan”.

Meskipun dianggap sebagai situasi yang dihadapi pekerja kantoran, penelitian menunjukkan pekerja sektor jasa secara unik dipengaruhi oleh keadaan ini.

Pemicunya adalah kombinasi sejumlah faktor, antara lain jam kerja yang panjang dan tidak umum serta dan minimnya waktu istirahat yang teratur.

Di banyak negara, termasuk Amerika Serikat, para pekerja di sektor ini biasanya dibayar secara rendah. Mereka dianggap tidak memiliki kemampuan yang memadai.

Pemberi kerja menghargai mereka secara rendah, tidak memberikan tunjangan sakit atau tunjangan hari raya.

Saat ini kelelahan mental di industri jasa lebih buruk dari periode sebelumnya karena stres tambahan yang disebabkan pandemi. Itu mereka hadapi, antara lain saat menghadapi pelanggan yang sulit diatur dan minimnya rekan kerja.

Tingkat kelelahan mental yang tinggi ini dianggap dapat membuat pemberi kerja lebih memahami fenomena ini sehingga membuat perubahan yang mengarah ke tempat kerja yang lebih baik.

Penilaian ini akan sedikit menghibur para pekerja yang mengalami kesulitan sehari-hari saat menghadapi pelanggan.

Pelanggan yang ‘mengerikan’

Banyak pekerja industri jasa hampir tidak dapat mengingat hari-hari awal pandemi, ketika mereka dipuji atas kerja keras mereka sebagai pekerja esensial.

Hari-hari ini, orang lebih cenderung menemukan berita tentang serangan terhadap pekerja di restoran, toko, dan pesawat terbang. Ini seringkali sebagai akibat peran baru mereka sebagai penegak aturan kesehatan di era Covid.

Tentu saja, salah satu tugas utama dari pekerjaan yang berhubungan dengan pelanggan adalah menangani masalah. Ini membuat mereka diposisikan secara unik untuk memiliki interaksi yang tidak bersahabat selama pandemi.

Granitz mengatakan, operasional beberapa bulan terakhir di restorannya adalah yang paling tidak stabil. Banyak turis berupaya untuk naik feri, berperilaku tidak baik dalam tur dan membuat staf restoran gelisah.

“Anda kedatangan 100 pelanggan yang luar biasa dan kemudian lima orang baru muncul yang di luar dugaan ternyata bersikap mengerikan,” katanya.

Dalam survei baru-baru ini terhadap pekerja ritel di Inggris, 91% manajer mengatakan mereka melihat peningkatan masalah kesehatan mental di antara para staf.

Sekitar 88% pekerja ritel yang melayani pelanggan mengaku pernah mengalami pelecehan verbal pada tahun 2020. Sementara 60% lainnya mengaku pernah diancam pelanggan.

Jennifer Moss, penulis buku berjudul The Burnout Epidemic, menilai situasi ini dipicu 20 bulan pandemi.

Pada periode ini para pekerja mengalami stres dan ketika mereka berinteraksi dengan publik, mereka dihadapkan dengan tingkat stres yang lebih tinggi.

“Kami selalu berada di ujung tanduk saat ini dan kami tidak mengambil jeda sebelum bereaksi,” kata Moss. “Jadi, hanya ada tingkat volatilitas yang belum pernah ditangani oleh mereka yang berada di sektor jasa sebelumnya.”

Moss mengatakan, peningkatan stres dapat menyebabkan melonjaknya sinisme dan keputusasaan di antara pekerja industri jasa. Mereka juga berpotensi menilai bahwa segala sesuatunya berada di luar kendali mereka.

Akibatnya, mereka mungkin menjadi cemas atau mengalami perubahan kepribadian yang negatif – semua gejala kelelahan yang sering disalahartikan sebagai kinerja yang buruk.

Siklus kelelahan dan kekurangan staf

Studi menunjukkan kelelahan mental merupakan pendorong utama mundurnya karyawan. Jadi tidak mengherankan bahwa industri jasa termasuk yang paling terpukul dalam tren pengunduran diri pekerja secara massal.

Pekerja perhotelan di AS berbondong-bondong meninggalkan pekerjaan mereka sejak masa karantina wilayah diterapkan pada awal 2020.

Lowongan kerja di industri perhotelan di Inggris berada pada level tertinggi sejak pencatatan dimulai. Banyak pekerja memilih berhenti untuk melanjutkan sekolah atau berlatih keahlian di bidang yang baru.

Sementara itu, kurangnya pekerja industri jasa di Australia menyebabkan perang penawaran upah di mana koki ditawari gaji hingga 200 ribu dolar Australia atau sekitar Rp2,1 miliar.

Sebagai konsekuensi dari kekurangan pekerja ini, banyak pemberi kerja di AS menaikkan upah untuk memikat kembali karyawan mereka. Namun hasil riset menunjukkan, para karyawan itu tidak tertarik.

Menurut survei Joblist, para mantan pekerja perhotelan beralih mencari sistem kerja yang berbeda (52%), gaji yang lebih tinggi (45%), tunjangan yang lebih baik (29%), dan fleksibilitas jadwal kerja (19%).

Sementara itu, setengah dari mantan pekerja perhotelan yang mencari pekerjaan lain mengatakan tidak ada kenaikan gaji atau insentif yang mendorong mereka kembali ke pekerjaan lama di restoran, bar, atau hotel.

Kevin Oliver adalah manajer sebuah toko serba ada di negara bagian Carolina Selatan, AS. Dia mengalami langsung konsekuensi minimnya jumlah pegawai.

Pria berusia 54 tahun yang telah bekerja di ritel sejak berusia 21 tahun itu berkata bahwa dia harus bekerja rata-rata 60 hingga 70 jam setiap minggu selama setahun terakhir.

Ada periode hampir delapan bulan di mana satu-satunya cara dia bisa mengambil cuti adalah meminta karyawan tingkat manajer lainnya untuk bekerja dalam shift 16 jam.

“Saat kejadian semacam itu menjadi semakin umum, tidak heran beberapa dari kita mengalami kelelahan mental,” katanya.

Alih-alih memiliki keseimbangan kehidupan kerja, selama pandemi, mereka justru dihadapkan pada pekerjaan yang sangat tidak seimbang.

Oliver meninggalkan pekerjaannya Oktober ini. Dia mengambil pekerjaan baru di organisasi nirlaba yang menawarkan lebih sedikit jam kerja dan gaji lebih tinggi.

Eksodus industri

Moss berkata, pandemi memudahkan pekerja yang mengalami kelelahan mental seperti Oliver untuk melakukan perubahan karier. “Kita semua telah melewati 20 bulan menghadapi kematian kita sendiri,” katanya.

“Kita telah mempertanyakan, dengan sengaja, apa yang ingin kita lakukan dengan hidup kita, apa yang ingin kita lakukan dengan pekerjaan.

“Kita juga telah mempelajari fleksibilitas emosional tingkat tinggi, yang membuat Anda lebih terbuka untuk berubah,” ucapnya.

Jika perusahaan di industri jasa ingin mempertahankan karyawan, mereka mungkin perlu mulai memainkan peran utama dalam memerangi kejenuhan.

Di antara staf tingkat pemula, Moss menyebut hubungan yang terjadi sejak lama bersifat transaksional.

“Ada harapan bahwa mereka akan mengundurkan diri. Kita harus berhenti berpikir seperti itu,” ujarnya. “Itu berarti kita perlu mengubah cara mendukung karyawan itu.”

Hal ini dapat memungkinkan pekerja untuk berbagi keluhan secara terbuka tanpa mencemaskan akibatnya. Perlu juga memastikan semua beban kerja yang diberikan berkelanjutan, memeriksa karyawan untuk mengukur kesejahteraan mereka dan membuat pekerja menyadari langkah-langkah yang jelas untuk kemajuan karier.

“Kami berada dalam momen perubahan paradigma dalam tenaga kerja kami saat ini,” ujar Moss.

“Perusahaan-perusahaan yang mengupayakan hal positif mendengarkan pegawai, peduli dengan kesehatan mental mereka, memberikan dukungan yang mereka butuhkan, mengembangkan kepercayaan, membangun komunikasi dua arah dan umpan balik.

“Di jenis organisasi seperti itulah para pegawai akan memilih bertahan,” ujar Moss.

Moss berharap situasi saat ini dapat menjadi peringatan, meningkatkan kesadaran terhadap kelelahan mental dan dampaknya tidak hanya di bilik kantor atau bangsal rumah sakit, tapi juga di belakang konter kafe dan gudang toko.

Dan dengan lebih memperhatikan masalah, mungkin kita semua dapat mulai merenungkan interaksi kita sendiri dengan pekerja industri jasa dan memulai proses denormalisasi perilaku buruk yang dilaporkan dalam beberapa bulan terakhir.

Komentar