242 Jurnalis Terpapar COVID-19, AJI: Perusahaan Media Jangan Semena-mena

JurnalPatroliNews – Manado,– Di tengah Pandemi Covid-19, risiko pekerjaan jurnalis dan pekerja media semakin berat.

Ketika pembatasan sosial dilakukan di sejumlah daerah, para jurnalis harus tetap turun ke lapangan melakukan peliputan dan pekerja media harus rutin berkantor menyusun laporan-laporan peliputan.

Karena tuntutan itu, beberapa jurnalis dan pekerja media bertumbangan terpapar virus korona.

Berdasarkan data yang dikumpulkan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sejak Maret hingga September 2020, setidaknya 242 jurnalis dan pekerja media dinyatakan positif Covid-19.

Namun, alih-alih mendapatkan perlindungan lebih dari perusahaan media tempat mereka bekerja, beberapa jurnalis dan pekerja media justru semakin terampas hak-haknya sebagai pekerja.

Hingga bulan ke-8 Pandemi Covid-19, AJI menerima sejumlah laporan adanya perusahaan-perusahaan media yang menunda pembayaran gaji, memotong gaji, bahkan melakukan PHK sepihak terhadap karyawannya.

Sekretaris Jenderal AJI Revolusi Riza mengatakan pada Juni 2020, media siber Kumparan melakukan PHK terhadap sejumlah karyawan dengan proses sosialisasi sangat singkat, yaitu sepekan sejak pengumuman PHK disampaikan.

Ironisnya kata Riza, karyawan yang di-PHK hanya mendapatkan pemberitahuan melalui surat elektronik (email).

Lanjut Riza, berdasarkan pantauan AJI Surabaya, awal Agustus 2020 sejumlah jurnalis dan pekerja media Jawa Pos juga ‘dipaksa’ mengambil opsi pensiun dini.

Jika menolak, maka mereka akan di-PHK.

Manajemen berdalih melakukan program resizing tersebut sebagai langkah efisiensi karena dampak pandemi terhadap bisnis perusahaan.

Mirisnya, para jurnalis dan pekerja media yang diberhentikan ternyata kemudian dipekerjakan kembali oleh PT Jawa Pos Koran sebagai karyawan berstatus kontrak dengan durasi kerja beragam atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).

Beberapa pengurus Serikat Pekerja Jawa Pos yang menolak pensiun dini akhirnya di-PHK pada pertengahan Agustus 2020 lalu.

Dikatakan, pada bulan yang sama, di Jakarta, para jurnalis dan pekerja media The Jakarta Post gundah setelah manajemen perusahaan mengumumkan akan ada PHK besar-besaran karena perusahaan kesulitan pembiayaan.

Rencana tersebut sempat ditunda karena perusahaan berkomitmen mencari investor baru.

Namun kata Riza, hingga Oktober situasi tersebut menggantung tidak jelas dan karyawan bertanya-tanya tentang nasib mereka ke depan.

Tanggal 12 Oktober 2020, dalam sebuah pertemuan besar dengan karyawan, manajemen mengumumkan belum ada investor baru masuk.

Pada kesempatan itu, manajemen kemudian menawarkan paket pengunduran diri secara sukarela dengan kompensasi 1 PMTK (Peraturan Menteri Tenaga Kerja), sebuah tawaran yang jauh dari ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan, yaitu 2 PMTK seperti diatur dalam pasal 156 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Tawaran PHK juga disampaikan Tempo kepada karyawannya.

Berbeda dengan The Jakarta Post yang membuka komunikasi kepada seluruh karyawan, manajemen Tempo menyampaikan surat pemberitahuan PHK kepada belasan karyawan dengan dipanggil satu per satu.

Menurut pengakuan beberapa karyawan yang dipanggil, kriteria pemanggilan tersebut tidak jelas.

Dalam pertemuan dengan karyawan yang akan di-PHK, manajemen Tempo menawarkan uang PHK sebesar 1,5 PMTK (*bukan 1,5 gaji pokok seperti yang beredar di media sosial).

Nilai ini masih di bawah ketentuan normatif UU Ketenagakerjaan sebesar 2 PMTK.

Seperti di Jawa Pos, beberapa karyawan yang di-PHK ditawari untuk bekerja kembali di Tempo sebagai kontributor dengan status karyawan PKWT.

Menurut laporan yang masuk ke AJI, sejumlah perusahaan media besar di ibukota juga menunda pembayaran gaji serta tunjangan hari raya (THR) karyawan serta memotong gaji karyawan karena krisis ekonomi akibat Pandemi Covid-19.

Penundaan dan pemotongan gaji serta THR masih terus berlangsung seiring belum tuntasnya penanganan pandemi Covid-19.

Koordinator Bidang Ketenagakerjaan AJI, Wawan Abk menegaskan, dahsyatnya pukulan pandemi tentu dirasakan semua pihak.

Namun ujar Wawan, krisis ini tidak bisa dijadikan alasan bagi perusahaan-perusahaan media untuk bertindak sewenang-wenang kepada karyawannya.

Menurutnya, inilah yang membuat AJI menyampaikan beberapa butir pernyataan sikap.

Yang pertama kata Wawan, AJI meminta menghentikan praktik-praktik penundaan gaji, pemotongan gaji, dan PHK sepihak dan stop melakukan PHK yang tidak mengindahkan ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

“Karena Rancangan Undang-undang Cipta Kerja belum siap diterapkan saat ini, maka seluruh proses sengketa ketenagakerjaan tetap wajib menggunakan Undang-undang Ketenagakerjaan,” tegasnya.

Selanjutnya, AJI menolak sikap perusahaan yang merugikan atau tidak menghargai martabat karyawan, seperti PHK yang ditindaklanjuti dengan mempekerjakan kembali karyawan dengan status PKWT.

“Apalagi ada upaya pemberangusan serikat pekerja/perwakilan karyawan. Pekerja berhak berkumpul memperjuangkan hak-hak mereka,” terangnya.

Tambah dia, di tengah pandemi, perusahaan media mesti membangun komunikasi dialogis dengan seluruh karyawan dalam mencari solusi-solusi terbaik bagi semua pihak.

“Dan paling penting hargai karyawan sebagai aset berharga perusahaan. Sebesar apapun perusahaan tidak akan bergerak jika tidak ditopang oleh individu-individu karyawan sebagai ‘sel-sel’ nya,” tandasnya.

(***/Alfrits Semen)

Komentar