Jro Pasek Warkadea Pimpin Paruman Desa Adat Kubutambahan Dapat Demo Kritikus Spanduk KomPADA

JurnalPatroliNews – Buleleng : Paruman Desa Adat Kubutambahan, terkait Laporan Pertanggungjawaban Prajuru Desa Adat Kubutambahan dari Tahun 1994 sampai sekarang ini di Pura Desa / Bale Agung Desa Adat Kubutambahan diselenggarakan pada hari Sabtu, tanggal 27 Februari 2021 dimulai sekitar pukul 09.00 Wita.

Suasana kegiatan Paruman Desa Adat mewajibkan peserta undangan mengenakan pakaian adat paruman.

Drs. Ketut Pasek, M.Si selaku Penghulu Desa Adat Kubutambahan yang akrab disapa Jro Pasek didampingi Penyarikan Desa Jro Made Putu Kerta yang menandatangani surat undangan perihal Paruman Desa menekankan, bahwa tetap mengikuti Protokol Kesehatan (ProKes) dalam situasi Pandemi Covid-19.

Surat undangan ditujukan kepada Yth.: Ketua MDA Kab. Buleleng, Muspika Kec. Kubutambahan, Perbekel Kubutambahan dan Jro Desa Linggih di Kubutambahan yang secara langsung tampak hadir.

Surat undangan dari Prajuru Desa Adat Kubutambahan itu tertanggal 18 Februari 2021, seperti yang dihimpun JurnalPatroliNews Biro Buleleng di Singaraja.

Paruman Desa Adat itu untuk membahas pertanggung jawaban lahan ‘duwen pura’ yang selama ini menjadi polemik di desa tersebut. Sehingga rencana pembangunan Bandara Bali Utara ‘kebarat kebirit’.

Lahan ‘duwen pura’ tersebut, sebelumnya dikontrak PT. Pinang Propertindo. Menariknya dalam kontrak tersebut, dilakukan dengan kesepakatan 30 tahun tanpa batas diduga atas dan oleh Bendesa Adat Jro Pasek Warkadea.

Karena itu, menuai protes keras dari desa Linggih, desa Negak, desa Latan dan Sampingan yang masing-masing berjumlah 33 warga.

Menurut penjelasan Ka.Biro JurnalPatroliNews yang warga Desa Kubutambahan, mestinya Paruman Desa tersebut dihadiri 99 kerama, namun hanya menghadirikan segelintir kerama dari Desa Linggih.

Salah satunya Nyoman Sumenasa, Ngurah Mahkota dan 20 orang lainya.

Disisi lain, salah satu kerama yang menerima undangan rapat (Paruman) ditolak masuk ke areal Pura, padahal acara paruman tersebut belum dimulai, tetapi pintu telah tertutup rapat.

Menariknya? Seluruh Kelian Dadia menerima surat undangan dari Jro Pasek seperti diucapkan Kelian Dadia Kebuntubuh.

“Ini undangan resmi, kami mewakili dadia kalau undang desa Linggih kami juga. Katanya undangan ini sudah dicabut tapi kapan pencabutannya? yang pasti belum ada pemberitahuan dari desa. Untuk Desa Linggih sudah ada yang mewakili, untuk kelian dadia (pura) kami, makanya kami duduk diluar, apalagi kami jauh-jauh datang guna menghadiri apa pembahasan itu,” ujar Ketut Budiada kelian Dadia Kebuntubuh.

Dalam pembahasan pertanggung jawaban tersebut berjalan alot, namun kekurang forum menjadikan Ngurah Mahkota dan Nyoman Sumanasa ‘alll aut’ dari paruman tersebut.

“Kami belum bisa menerima paruman ini dari Bendesa Adat, yang datang ini segelintir orang jumlah desa Latan, Linggih, Sampingan hampir 99 orang. Tiga komponen ini harus dilibatkan, kami hargai situasi Covid ini tidak diperkenan mengumpulkan orang banyak. Mari cari kesempatan lain untuk menggelar paruman ini, sehingga tiga komponen ini mengetahui dan kami tidak ada maksud tertentu,” ujar Ketut Ngurah Mahkota dan langsung meninggalkan paruman.

Sementara itu, diluar areal Pura Desa terjadi demo sebagai wujud kritikus dari KomPADA dengan membentangkan spanduk bertuliskan “370 HEKTAR tanah duwen desa adat Kubutambahan dikuasai Hak Kelolanya oleh Mafia Tanah Jakarta selamanya. Saatnya Krama Adat Kubutambahan Bangkit dan Berjuang Bersama Selamatkan Duwen Ida Bhatara”

Selaku Bendesa Adat Kubutambahan Jro Pasek Warkadea usai paruman mengatakan, tugas dan fungsi tanggung jawab desa Linggih menggelar rapat memberikan hak suara dalam pengambilan keputusan, termasuk pengelolaan keuangan dan asset.

“Jadi paruman desa, desa Latan adalah ngayah dan desa latan keluarga desa Linggih. Nah, kalau keduanya hadir paruman dalam kondisi Pandemi Covid-19 ini saya yang disalahkan melanggar ProKes dan bagaimana mengambil keputusan, desa Linggih adalah perwakilan. Dalam UUD 45, sila 4 Pancasila disebutkan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Artinya pengambilan keputusan bisa hanya perwakilan dadia dan panti atau komponen perwakilan,” jelasnya.

Terkait dengan sewa kelola lahan, lebih lanjut dikatakan Jro Pasek Warkadea, dalam penyelenggaraan upacara baru dilibatkan desa Latan, Sampingan dan tidak dikenakan biaya (urunan) yang mana kas dari pertanggung jawaban.

“Terkait dengan pembahasan Paruman, asset lahan Duwe Pura Desa Adat Kubutambahan yang disewa kontrak PT. Pinang Propertido. Ketika persoalan ini muncul adanya isu Bandara, Gubernur Bali Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha.Tanah Duwe (DP) Pura berubah menjadi tanah negara, mohon maaf inilah yang di manfaatkan menjadi menejement konflik supaya kami setuju menggunakan tanah duwe pura menjadi tanah negara. Dari pada tanah DP hilang, lebih baik tidak ada bandara,” Jro Pasek Warkadea paparkan siang itu, setelah selesai Paruman Desa. (* – TiR).-

Komentar