Pasang Lilin : Tradisi Yang Masih Hidup di Minahasa

Jurnalpatrolinews – Menado : Ada yang menarik dilihat saat malam Natal atau pun malam Tahun Baru, malam jelang perpisahan tahun. Dimana masyarakat Minahasa mempunyai tradisi yang sejak turun temurun dipertahankan, yaitu ziarah ke makam orang tua, pasang lilin/lampu dan mebawa bunga.

Menurut, Budayawan Rikson Karundeng, tradisi ini di Minahasa bukan tradisi baru. “Kebiasaan itu telah berakar di tanah ini jauh dalam dari era Malesung. Tou (orang) Minahasa mengenalnya dengan lumales. Menapaki ulang jejak para leluhur,” ujar Rikson Karundeng, Sabtu (16/1/2021).

Ia menjelaskan, tradisi lumales itu bentuk pengormatan anak keturuhan terhadap leluhurnya sekaligus pengakuan terhadap Sang Khalik. “Masyarakat Tontemboan mengenal tradiai ini dengan istilah sumiri. Menghormati dan menghargai (para leluhur). Latar berpikirnya, kalau tidak ada generasi sebelumnya, tidak mungkin kita ada hari ini,” jelas Karundeng.

Lanjitnya, Makna spiritualitas di situ adalah sebuah pengakuan terhadap ada yang lebih dahulu dari kita. “Ini bentuk pengakuan terhadap keberadaan Sang Pencipta,” katanya.

Karundeng menambahkan, Tradisi lumales dilakukan secara berulang dalam sebuah ritual atau upacara. Dengan melakukan ritual, ada tata cara yang diulang dan mengandung pelajaran.

“Pelajaran dari lumales itu penghargaan dan penghormatan. Pokoknya, secara spiritual untuk mengingatkan sekali lagi kepada kita bahwa hidup kita sangat berarti. Karena segala sesuata ada waktunya. Itu makanya kita pergi ke mereka yang sudah lebih dahulu,” jelasnya.

Menurutnya, Lumales secara filofis dan spiritual, lebih dalam adalah bentuk pengakuan kepada Tuhan. Dia yang berkehendak.

“Pengakuan bahwa sebelumnya ada yang menghendaki kita. Ada kekuatan yang menghendaki segala sesuatu termasuk kehadiran manusia di tanah ini. Dialah Tuhan,” katanya.

Lanjutnya, saat ini, ziarah ke makam orang tua ditandai dengan kegiatan membersihkan makam, membawa bunga dan lampu atau lilin dan diletakkan di makam. Kebiasaan itu sudah dilakukan sejak lama.

“Babersih, bawa bunga, pasang lilin. Ketika sebersih tu tampa, mengacu pada penyucian. Menyucikan atau mengembalikan dia pada kedudukan yang semula. Di awal kan makam leluhur itu bersih. Kemudian seiring waktu, ditumbuhi semak, kotor, jadi dibersihkan,” ungkapnya.

Jelasnya lagi, Semua yang dibawa ke makam adalah simbol. Simbol-simbol itu memiliki makna dan menghidupkan. Kerena itu ia terus hidup terpelihara dalam tradisi.

“Kalau bunga itu simbol keindahan, puncak cita rasa. Itu hanya bisa dirasakan orang yang berbahagia. Ini simbol, orang yang datang adalah orang yang bahagia. Orang itu bahagia untuk bertemu dengan orang yang dicintai, disayangi, dirindukan. Itu simbol kedekatan. Gambaran keakraban dan kedekatan. Makna simbolik dari itu adalah bunga,” jelasnya.

Selain kegiatan bersih-bersih dan membawa bunga di makam, tradisi memasang penerang juga punya makna yang dalam.

“Kemudian kenapa lampu? Itu bermakna torang datang dengan niat dan hati yang bersih. Tidak ada kata-kata yang mau disembunyikan. Datang tidak sembarangan tapi dengani niat yang tulus. Kita tidak datang di gelap-gelap. Di sisi lain, itu simbol penunjuk jalan bahwa kita masih mengingat leluhur. Dengan mengingat leluhur, kita mengingat ajaran-ajaran mereka yang luhur,” ujat Karundeng.

Tambahnya, Di Minahasa dikenal kata sumiri untuk daerah Tontemboan dan sumigi di tempat lain seperti Tombulu dan Tondano.

“Maknanya sama. Proses penghormatan. Tapi ada kata lumales yang berarti pigi lales (langsung). Maknanya, dengan mendatangi langsung makam leluhur, bisa lebih kenal, bisa dapat. Kan beda tu baku dapa di jalan deng langsung ka rumah. Keakraban itu lebih dapat. Makanya, di lumales, proses ke lokasi makam leluhur justru yang paling penting,” ungkapnya.

Tradisi ziarah makam menunjukkan bahwa antara anak keturunan dan leluhur yang telah mendahului tidak terpisahkan. Berbeda dunia bukan berarti telah terpisah.

Pemaknaan itu tak lepas dari pemahaman orang Minahasa terhadap kematian. Dalam tradisi Minahasa tidak ada kematian. Hanya bentuk kehidupan yang diubah.

“Jadi yang mawuri, so pigi lebe dulu, baku dapa deng sudara-sudara yang lain yang so lebe dulu. Peristiwa itu sama deng kelahiran baru. Salah satu cara memelihara hubungan kita dengan mereka yang telah mendahului adalah dengan sumigi ini,” jelasnya.

Karundeng menambahkan, Hidup di kayobaan (dunia) hanya sementara. Di dunia manusia akan menapaki jalan untuk kembali kepada Kasuruan Wangko (Sang Sumber Segala Kehidupan).

“Proses kembali kepada Sang Khalik itu semacam tujuan. Di dunia ibarat daun. Pada saatnya daun itu akan balik ke tanah yang menjadi sumbernya. Seperti kita, pada saatnya akan kembali ke Empung Wailan Wangko. Bagi kita orang Minahasa, proses kematian itu kesempurnaan. Lekep, so tasampe orang bilang. Itu filosofi tua,” katanya.

Sekali lagi, jelas Karundeng, soal makna membersihkan makam, membawa bunga dan memasang lampu di makam orang tua yang telah meninggal. Leluhur Minahasa mengajarkan bahwa segala sesuatu yang dilakukan selalu diawali proses babersih. Bunga yang dibawa ke makam merupakan penanda. Gambaran kalbu orang yang datang berziarah.

“Dulu tu bunga ja bawa itu bunga werot ato luly. Orang Tontemboan bilang kendem. Kenapa, karena dia seperti tawaang, tidak gampang mati. Kedua dia warna-warni. Simbol kebahagiaan, simbol sukacita. Dalam pengertian, ketika berziarah, torang mau mengingat kembali hubungan yang membahagiakan dengan dia yang diziarahi. Itu depe garis besar,” jelasnya.

Sementara, penerang yang dibawa di makam memiliki makna hidup. “Pasang lampu dalam pengertian simbol dari hidup. Yang sudah pergi masih berhubungan dengan kita, dia masih hidup di dalam hati kita dan dia memang masih hidup di sana,” tandasnya.    (Dedy Dagomes)

Komentar