Permintaan Janggal Umbu Landu Paranggi

JurnalisPatroliNews – Denpasar : Di balik puisinya yang menyentuh kalbu, penyair Umbu Landu Paranggi adalah sosok pribadi yang unik dan misterius. Umbu tidak mudah dihubungi orang lain dan sering memiliki permintaan yang terasa Janggal.

Artikel ini Sebagai Dokumentasi Pribadi
Frans Sarong, Wartawan Kompas 1985-2016

Duka mendalam sedang menyelimuti Nusa Tenggara Timur. Sumbernya dari badai siklon tropis Seroja selama hampir seminggu, sejak Kamis (1/4/2021).

Adonara di Kabupaten Flores Timur dan banyak titik lainnya di NTT luluh lantak. Badai berupa hujan intensitas tinggi disertai angin kencang dan gelombang ganas untuk sementara hingga Selasa malam dilaporkan telah merenggut sedikitnya 117 jiwa dan 76 orang lainnya belum diketahui nasibnya (Kompas, 6/4/2021).

Di tengah perkabungan yang sedang mendera, suasana dukanya terasa berambah pekat. Itu terjadi menyusul berita berpulangnya dua putra terbaik NTT, yang juga tokoh nasional. Keduanya yang berpulang pada hari yang sama, Selasa (6/4/2021), adalah cendekiawan kawakan, Dr Daniel Dhakidae, dan sastarawan Umbu Landu Paranggi.

Daniel Dhakidae meninggal pukul 07.24 WIB di Rumah Sakit MMC Kuningan, Jakarta, akibat serangan jantung. Serangan itu terjadi pada dini hari sekitar pukul 03.00 WIB, kemudian dilarikan ke rumah sakit, tetapi tidak tertolong.

Pada dini hari hari yang sama, seniman Umbu Landu Paranggi juga berpulang. Sang penyair besar Tanah Air ini meninggal di RS Bali Mandara, Denpasar, pukul 03.55 Wita.

Umbu Landu Paranggi

Bagi saya, kepergian kedua tokoh terasa menambah pekat perkabungan akibat badai siklon tropis Seroja di NTT. Penyebabnya, karena saya memang sempat kenal dekat dengan kedua tokoh.

Terutama di kalangan budayawan dan sastrawan, nama Umbu Landu Paranggi memang dikenal luas di Tanah Air. Lahir di Sumba Timur, NTT, 10 Agustus 1943, sang penyair dikenal juga dengan julukan sebagai ”Presiden Malioboro”.

Saya akhirnya bisa jumpa secara fisik dengan sastrawan misterius itu ketika saya bertugas sebagai Kepala Biro Kompas Wilayah Bali, NTB, NTT (2003-2010). Biro Kompas itu berkantor di Denpasar.

Kisahnya berawal dari kunjungan ke Taman Air Tirta Gangga di Karang Asem, tahun 2004. Ketika memasuki tempat rekreasi yang selalu ramai dikunjungi para pelancong itu, saya terkejut bercampur rasa kagum menyaksikan prasasti pembangunannya.

Prasasti yang dipajang sebelah kanan gerbang masuknya justru ditandatangani oleh Umbu Landu Paranggi.

Beberapa hari setelahnya saya mendapat kabar, bahwa sang penyair sudah menetap di Bali sejak tahun 1970-an. Namun, anehnya, sulit mendapatkan alamatnya.

Di Denpasar, ada banyak budayawan, sastrawan, atau penikmat sastra yang mengaku sebagai pengagum Umbu Landu Paranggi. Bagi mereka, sempat menyaksikan langsung sang penyair sudah menjadi kebanggaan. Apalagai jika sempat bertegur sapa, dianggap seakan anugerah yang pantas dan harus disyukuri.

Respons seperti itu tentu saja menjadi maklum karena Umbu Landu Paranggi dikenal sebagai sastrawan misterius.

Selain merahasiakan alamat tempat tinggalnya di Denpasar, ia juga sulit dihubungi karena dengan sengaja untuk tidak mengantongi telepon seluler atau HP.

Selama tujuh tahun di Denpasar, saya beberapa kali dikontak Presiden Malioboro itu. Kontak itu dipastikan dari nomor telepon kabel yang sama dan pada hari yang sama pula, yaitu dari harian Bali Post pada Sabtu malam. Mengapa demikian, karena Umbu mengasuh rubrik budaya Bali Post untuk edisi Minggu.

Harapan bisa jumpa langsung akhirnya tiba waktunya. Kesempatan itu baru terwujud melalui jasa baik Ketut Sumarta, Pemimpin Redaksi (majalah budaya) Sarad, di Denpasar.

Beberapa saat kemudian baru diketahui, Ketut Sumarta adalah satu satu anak emas Umbu Landu Paranggi di Bali.

Malam itu, Ketut Sumata mengontak saya. Ia memberi tahu bahwa dirinya sedang bersama ”Presiden” (maksudnya Umbu Landu Paranggi).

Dalam nada bisik-bisik, ia meminta saya segera datang dan bergabung. Saya pun langsung meluncur dan terjadilah pertemuan yang ditunggu sejak lama.

Singkat cerita, bersambunglah kontak-kontak akrab hingga sampai pada permintaan-permintaan yang terkesan janggal. Salah satu contohnya, saya diminta membawa oleh-oleh ”gula Manggarai”. Gula merah itu memang diproduksi oleh kelompok masyarakat Kolang di Kabuparen Manggarai Barat. Permintaan itu terasa menantang, karena mendapatkannya tidak gampang.

Di Kolang (Manggarai Barat) sendiri memang sudah sangat langka. Alasannya, karena proses produksinya membutuhkan tidak sedikit kayu bakar. Pasarnya juga kian tergusur oleh kehadiran gula pasir dari olahan tebu.

Ketika saya mengusulkan agar digantikan gula merah yang dihasilkan masyarakat Rote atau Sabu, Umbu dengan tegas menolaknya. Kata dia, gula Manggarai tidak tergantikan!

Ada lagi contoh lainnya. Budayawan yang juga kritikus sastra Ignas Kleden pada tahun 2004 menerbitkan buku berjudul Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan. Umbu mengontak dan mengatakan ingin memiliki buku itu. Permintaannya lagi-lagi janggal.

Ia mau memiliki buku itu melalui saya, tetapi bukan saya yang membelikannya. Saya terkejut, karena pemintaannya membelikan buku itu harus oleh Maria Hartiningsih (wartawan Kompas di Jakarta). Sebagai buktinya, harus ada tanda tangan Maria dalam buku itu.

Masih ada permintaan lain yang juga janggal dan sampai sejauh ini tetap saja menggantung sebagai sesuatu yang misterius.

Daniel Dhakidae

Kedekatan dengan Daniel Dhakidae, terutama ketika masih sama-sama aktif di harian Kompas. Sang cendekiawan setelah merampungkan kuliah S-3 di Universitas Cornel di Ithaca, New York (AS), mengemban tugas sebagai Kepala Litbang Kompas (1995-2005). Merujuk penelitian serta analisisnya yang tajam dan kritis, Daniel Dhakidae seakan menjadi tongkat penjuru menjaga eksistensi Kompas selama Orde Baru dan era Reformasi.

Pernah suatu ketika tahun 1990-an kebetulan papasan dalam lift dari lantai 3 Redaksi Kompas ke lantai dasar (gedung lama di Palmerah).

Saya mengungkapkan apresiasi, karena salah seorang putra Flores ketika itu mendapat kepercayaan menjadi menteri pada Kabinet Gotong Royong. Reaksi sang cendekiawan justru sangat mengejutkan.

”Hei, Frans, kepercayaan itu bukan sesuatu yang pantas dibanggakan, tapi justru sebuah pelecehan bagi NTT dan Flores khususnya,” begitu respons Daniel Dhakidae.

Berbagai pihak—di antaranya Ketua Dewan Pengurus Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3S) Didik J Rachbini—melukiskan Dhaniel Dhakidae sebagai intelektual yang egaliter, juga individu yang sangat toleran. Namun, pada saat yang sama dikenal sebagai intelektual yang keras menentang feodalisme pemerintahan Orde Baru.

Daniel Dhakidae, peneliti, akademisi, dan mantan Kepala Litbang Kompas.

Mantan aktivis yang kini Wakil Ketua Komisi IX DPR, Melki Laka Lena, menyampaikan duka mendalam atas berpulangnya cendekiawan Daniel Dhakidae dan sastrawan Umbu Landu Paranggi. Bagi dia, Daniel adalah salah satu pemikir terbaik Indonesia.

Yang selalu dikenang dari Daniel adalah kecerdasannya menyampaikan substansi pemikirannya melalui rangkaian kalimat lugas dan menarik hingga mudah dipahami (KabarNTT.com, 6/4/2021).

Daniel Dhakidae memang dikenal sebagai cendekiawan penentang penindasan rezim Orde Baru. Salah satu contoh gugatannya terhadap kekuasaan otoriter Orde Baru bisa disimak melalui salah satu bukunya yang berjudul Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (2003). Di sana, almarhum antara lain menggugat kekejaman rezim Orde Baru yang sampai melenyapkan penyair kerempeng Wiji Tukul.

Daniel melukiskan Wiji Tukul tidak hanya piawai merangkai kata menjadi kalimat puitis. Sang penyair melalui rangkaian kata-katanya dilukiskan berkekuatan dahsyat hingga menjadi penggerak massa yang tertindas. Salah satu puisi karya Wiji Tukul berjudul ”Peringatan!”.

Diduga kuat, puisi itulah yang menjadi pemicu hingga kekuaasaan melenyapkan Wiji Tukul sejak 23 Juni 1998.

Masih melalui buku yang sama, Daniel Dhakidae sampai mengutip kritikus sastra yang juga filsuf Prancis, Michel Foucault (1926-1984).

Kutipan itu dengan kepentingan menjustifikasi kekuatan sebuah kata, termasuk rangkaian kata puisi karya Wiji Tukul, hingga sang penyair dilenyapkan.

Seperti diungkapkan Daniel, kata yang diposisikan secara tepat, apalagi dirangkai secara puitik, akan terasa berjiwa. Bahkan, rangkaian kata berjiwa tidak jarang menjelma menjadi makhluk liar yang tidak terjinakkan!

Selamat jalan cendekiawan Daniel Dhakidae dan sastrawan Umbu Landu Paranggi. Saya yakin kalian berdua lapang menuju kampung damai untuk selamanya, bersama para korban badai siklon tropis Seroja di NTT.

Khusus mengiringi berpulangnya Umbu Landu Paranggi, yang pasti selalu dikenang adalah permintaannya yang selalu janggal.
(* – TiR).-

Komentar